Picture taken from www.brunswick.k12.me.us through www.google.com |
Oleh: Nina Razan
Hari ini
usiaku genap 17 tahun. Namun, aku belum mempunyai “gereget” sebagai remaja
berusia 17 tahun. Entahlah, aku sendiri tak tahu apa penyebabnya, yang jelas
aku tetaplah aku. Aku adalah seorang siswi SMA yang belum mengerti banyak
tentang kehidupan, bahkan aku rasa aku belum bisa mandiri layaknya remaja
seusiaku.
Well, entah mengapa hari ini aku merasa
janggal. Tadi tepat pukul 00.00, aku mendapat sebuah pesan singkat dari
seseorang yang notabenenya adalah mantan gebetanku. Awalnya, aku kira isi pesan
itu adalah ucapan selamat ulang tahun untukku, sehingga aku biarkan saja hingga
esok hari. Namun, aku baru sadar jika aku salah setelah membacanya.
Sebuah
pesan singkat bernada lembut bertuliskan, ”Night
girl, sleep tight and have a very sweet dream!” sontak membuatku kaget.
Sebuah pesan yang tak pernah ku duga datangnya, tiba-tiba saja tertulis di
ponselku dengan alamat nomor yang bisa dibilang ku “keramatkan”. Sebab, sejak
aku mengetahui nomor itu, aku hanya menyimpannya dan sama sekali belum pernah kugunakan
sebagai alamat nomor penerima pesan dari ponselku.
Aku baca
pesan itu berulang kali lalu kusimpan sebagai saved message. Sempat terbesit sebuah keinginan di hatiku untuk
membalas pesan itu, tapi aku tak kuasa. Pikiranku berpacu mengalahkan keinginan
itu, lebih baik aku biarkan. Aku terdiam. Lalu aku beranjak dari tempat tidurku
dan bergegas mandi.
***
Suasana di
sekolah hari ini masih seperti biasanya, selalu membuatku ingin lekas pergi ke
kantin. Ketika aku sedang berjalan menuju kantin, kudapati ponselku bergetar.
Rupanya, sebuah pesan singkat masuk dari nomor keramat yang berbunyi, “Morning girl, I’m sorry I couldn’t give any
surprise to you last night. Happy birthday! God bless you”.
Kulihat
sekelilingku, berharap sang empunya nomor berada di dekatku. Namun ternyata,
dia tidak sedang berada di sekitar sini. Aku pun meneruskan perjalananku ke
kantin.
Setibanya
di kantin, kulihat sebuah pamflet yang tertempel rapi di mading dekat kantin
bertuliskan namaku lengkap dengan fotoku bersama teman-teman. Seingatku, foto
itu diambil sekitar setahun yang lalu tepat saat aku tergila-gila pada Alvin , teman sekelasku
yang sangat cuek.
Alvin
adalah satu-satunya orang yang menurutku sangat aneh. Dia tak pernah menyebut
namaku karena dia tak tahu dan tak pernah mau tahu tentang itu. Bahkan, sampai
saat ini, dia belum pernah tersenyum barang simpul sekalipun padaku.
Dalam
foto itu, terlukis wajahku yang sedang tertawa dengan teman-temanku. Tanpa aku
sadari, di bagian kanan bawah foto tersebut terdapat tanda tangan yang sudah tak
asing bagiku, tanda tangan Alvin .
Sungguh,
aku benar-benar tak mengerti maksud dari semua ini. Untuk apa Alvin melakukan hal ini? Apakah untuk
membuatku GR lalu mempermalukanku? Ah, rasanya sulit dipercaya kalau Alvin
melakukan hal konyol itu. Dia terlalu sibuk, atau bisa dibilang ‘tak level’
untuk melakukan hal yang kurang kerjaan dan sebodoh itu. Lantas, siapa yang
melakukannya?
Aku
masih memperhatikan foto itu sambil menerka-nerka siapa yang menempel dan untuk
apa foto itu ditempel di tempat seperti ini.
“Callista,”
seseorang di belakangku menyebut namaku. Aku kaget dan segera membalikkan badan
mengikuti arah datangnya suara tersebut. Seseorang berbadan tegap tersenyum
padaku, sungguh aku belum pernah melihat senyuman seperti itu.
“Are you okay?” suara itu membuat badanku
lemas seketika.
“I-I-I’m fine,” bibirku bergetar hingga kata-kata
yang ingin kuucap tak mampu keluar secara sempurna. Aku benar-benar tak berdaya
dan segera memalingkan pandanganku yang sudah tidak kuat menatap binar matanya.
Aku tahu dia akan berucap lagi padaku, tapi aku berlari meninggalkannya hingga
dia memangil namaku berulang kali. Aku tak peduli, aku terus berlari hingga aku
terjatuh.
“Callista
lo nggak papa kan ?”
terdengar suara yang sepertinya aku kenali.
Aku
segera meraih uluran tangan seorang cewek berambut panjang sembari melirik name badge-nya untuk sekadar memastikan.
“Thanks,” ujarku.
“Ngapain
aja lo sampai jatuh segala?” tanya Hika, sahabat yang selalu ada disaat aku
butuh, termasuk tadi ketika aku terjatuh.
“Nggak
apa-apa kok,” balasku dengan senyum terpaksa.
***
Setibanya
di rumah, aku membongkar seisi gudang kamarku untuk mencari buku Fisika kelas satu.
Dua jam berlalu, tapi aku belum juga menemukan buku itu. Tanpa sengaja, aku menemukan
sebuah album usang. Sebuah album yang merekam kisah masa kecilku yang indah.
Kubuka
lembar demi lembar album masa kecilku, sesekali aku tersenyum mengenang masa
itu. Tiba-tiba jatuh sebuah kertas, seingatku itu kertas dari diary lamaku. Aku merobek lembar
tersebut karena aku ingin melupakan Alvin.
Entah
apa yang ada di pikiranku ketika ku pandang matanya. Sepertinya ada yang aneh,
hatiku tak bisa memungkiri bahwa aku merasa dia sedang melihatku, lebih
tepatnya memperhatikanku. Hal ini bukan yang pertama kalinya, karena sebelumnya
saat aku bercerita pada teman-temanku bahwa aku baru saja menemukan sepucuk
surat dari mantanku di atas mejaku, dia satu-satunya orang yang mengunjungi
mejaku untuk melihatnya. Itu pun saat kelas kosong oleh siswa dan aku tak
sengaja melihatnya sedang melakukan hal tersebut. Ah, sudahlah! Untuk apa aku
berpikiran seperti ini? Toh sudah jelas bahwa dia orang yang cuek, bahkan lebih
cuek dari bebek.
Aku
tersipu membaca potongan diary itu.
Lucu pikirku, ada-ada saja yang kutulis saat itu! Karena terhanyut dalam buai
kenangan masa lalu, aku membuka halaman sebaliknya.
Ah, kenapa? Kenapa ini terjadi lagi? Aku
melihatnya sedang melihatku! LAGI! Cukup, ini sudah cukup untukku!
Yah, potongan
diary itu membuatku teringat pada
Alvin dan segala yang terjadi tentangnya akhir-akhir ini.
***
Pagi
yang cerah, aku berangkat ke sekolah dengan perasaan bahagia karena ada yang
berbeda dariku hari ini. Yup, semua
baru! Senang sekali rasanya, tas baru ini pemberian mamaku sebagai kado ulang
tahunku. Sedangkan sepatu baru ini, pemberian tanteku dan jam tangan baru ini
dari papaku.
Tinggal beberapa
meter lagi untuk sampai di kelasku, tapi seseorang menghentikan langkahku.
“Callista,
Can I talk with you?”
Aku
terdiam sejenak berharap suara itu bukan suara Kepala Sekolah. Aku memutar
badanku, ku lihat name badge-nya
kemudian berujar, “Okay”.
“Come on. Follow me,” kata orang yang tak
lain adalah Alvin.
Langkah
yang kuikuti terhenti di depan mading dekat kantin. Alvin melihat mading
sembari tersenyum kemudian berkata, “Have
you ever seen it before?”
“Yes. Why?” jawabku mulai tegang. Aku
takut jika teman-temanku melihatku berduaan dengan Alvin .
“Well, I’ll tell you something. I made it just
for make you sure that I-,” aku yakin Alvin belum menyelesaikan kalimatnya,
tapi Samantha memanggilku dan aku harus segera pergi.
“Ngapain
lo berduaan sama dia?” tanya Samantha.
“Ah,
siapa yang berduaan? Gue lagi ngeliatin mading aja, nggak tahu kalau ada doi,”
tangkisku.
“Serius
lo?” kali ini Samantha menyolek tanganku dan menaik-turunkan alisnya.
“Apaan
sih lo?” aku masih mencoba berkilah, tetapi dalam hatiku aku tak bisa
memungkiri bahwa aku merasa senang dapat bersama Alvin meski hanya sebentar.
Di
sepanjang perjalanan menuju ruang kelas, masih terbayang senyum Alvin yang sebenarnya
jarang sekali aku lihat. Dia tersenyum, menatapku, dan kurasa bibirnya bergetar
saat dia berbicara. Jantungku berdebar lagi, padahal tidak ada lelaki yang
sedang berjalan bersamaku. Mungkin karena Alvin, yang entah mengapa membuatku
merasa GR. Ah, sudahlah!
***
HP-ku
bergetar, ternyata ada sebuah pesan singkat masuk di HP-ku. Larut malam seperti
ini masih ada juga orang yang hidup. Hm, tunggu sebentar, apakah aku sedang
bermimpi? Pasalnya, pesan ini dikirim oleh Alvin. Mengapa harus dia lagi?
Bukankah esok hari kita harus pergi ke sekolah? Mengapa dia mengirim pesanku
tengah malam seperti ini?
Kubuka
pesan itu dengan jantung yang berdegup kencang, berharap tak ada hal janggal
dalam pesan singkatnya. Namun, semua berubah ketika aku membaca dan meresapi
apa yang Alvin sampaikan pada pesannya kali ini.
Hi, Callista! I hope I don’t disturbing
your sweet dream tonight. I can’t sleep well ‘cause I’m still remembering my
twin sister. Perhaps you’ll know what I mean on everything I did to you. I just
wanna be a good brother for you. Have sweet dream, my lovely twin sister! J
Sungguh,
seharusnya aku tahu akan hal ini. Aku tahu aku memiliki saudara kembar, tapi
orang tuaku tidak memberi tahuku siapa namanya. Kini ketika aku tahu, ternyata
dia Alvin! Orang yang selama ini aku kira mencintaiku sebagai lawan jenis,
ternyata dia saudara kandungku. Astaga, jadi selama ini aku salah mengartikan
setiap perhatian yang dia berikan padaku? Oh, bodohnya diriku! Mengapa hal ini
tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya?
Aku beranjak dari ranjangku yang nyaman dan bergegas
menuruni anak tangga menuju ruang makan. Biasanya, tengah malam seperti ini
orangtuaku sedang menikmati malam karena mereka baru saja pulang dari kantor. Aku
harus bertanya pada mereka. Ya, aku harus tahu semua malam ini juga!
“Ma,” panggilku.
Mama langsung menoleh dan menjawab, “Ya, sayang? Ada
apa? Tengah malam begini kok belum tidur?”
“Ma, coba mama baca ini,” ujarku seraya menyodorkan
HP-ku.
Ku lihat mama menyerngitkan dahinya ketika membaca isi
pesan singkat itu. Tak lama kemudian, ia pun berkata, “Sebentar ya, sayang.
Mama ke kamar dulu”.
Aku tak mampu mengelak. Aku hanya bisa diam sambil
menahan air mata yang sudah menggelayut di kelopak mataku. Badanku terasa lemas
hingga akhirnya aku melangkahkan kaki yang menuntunku pada sebuah sofa. Kuusap
air mata yang mulai membasahi pipiku.
“Callista,” ku dengar suara papa memanggilku. Aku
berdiri dan melangkah kaki menuju tempat papa dan mama berdiri. “Sekarang kamu
sudah besar. Kamu harus tahu yang sebenarnya. Maafkan papa-mama,” tutur papa
membuat mataku kembali meneteskan air mata.
Aku hanya bisa diam. “Maafkan papa dan mama yang belum
memberitahumu tentang hal ini, sayang,” ujar mama lirih seraya memelukku. Aku
hanya mampu menangis dalam pelukan mama. Tanganku serasa tak bisa bergerak,
meski aku ingin membalas pelukan mama. “Kamu mau maafin papa mama kan, sayang?”
Aku pun mengangguk. Papa mengelus rambutku sambil
tersenyum dan berkata, “Papa janji besok papa antar kamu ke orang tua
kandungmu. Tapi kamu harus janji, jangan pernah lupakan papa dan mama. Gimana? Setuju?”
Aku kembali mengangguk. Kali ini, kubalas pelukan mama
erat-erat. Aku sangat senang mendengar janji papa hingga aku terisak di pelukan
mama.
Ya, kini aku paham, segala yang ditutup-tutupi pasti
akan terbuka juga. Entah kapan waktunya. Mungkin, juga termasuk perasaanku pada
Alvin setahun yang lalu. Cepat atau lambat, Alvin pasti tahu. Pasti.
*****
No comments:
Post a Comment