Picture taken from www.brunswick.k12.me.us through www.google.com |
Oleh:
Nina Razan
“Siva,” panggil seseorang sembari menepuk
pundak kananku.
Prak! Ponselku terjatuh. Casing berwarna pink yang
membungkus baterai ponsel terlepas dan jatuh ke lantai.
“Ah!” aku
berteriak.
“Siva. Sorry, Siv,”
Alih-alih
menjawab, aku justru memunguti bagian-bagian ponselku yang terjatuh itu dan
segera menyatukannya kembali. Jantungku berdegup kencang. Bisa kubayangkan
dalam benakku, ibuku pasti akan marah besar padaku jika ia mengetahui ponsel
ini rusak. Pasalnya, ini kali kelimanya aku mengganti ponselku setelah empat
kali rusak.
“Siv,” orang itu
kembali memegang pundakku seraya menggigit bibir bawahnya.
Aku segera
menepis tangannya dan membalikkan badanku, “Kalau rusak, kamu harus ganti!
Harus!”.
Kulihat Chika memanyunkan
bibirnya. Ternyata, orang yang mengagetkanku tadi adalah dirinya. “Siv, ada
yang butuh bantuan kamu,” ujarnya tanpa menatap mataku. Pandangannya tertuju
pada jemariku yang masih berusaha membenahi ponselku.
“Siapa?”
Setelah beberapa
kali mengedarkan pandangannya, Chika mendekatkan bibirnya pada telingaku.
Sambil sedikit berbisik, ia menjawab pertanyaanku, “Evan. Dia butuh darah”.
Aku terkejut.
Selama aku mengenyam pendidikan disini, aku belum pernah mendengar mahasiswa
bernama Evan selain lelaki tampan yang terkenal sombong dan suka mencaci maki
orang-orang di kampusku. “Evan siapa?”
“Nggak usah
pura-pura nggak tahu deh. Buruan, dia benar-benar butuh kamu,” ujar Chika
sembari menarik tangan kananku.
Meski tubuhku
sudah bergerak mengikuti Chika, aku masih tak habis pikir mengapa harus aku
yang menolongnya? Bukankan Evan adalah seorang anak yang terlahir dalam kondisi
kaya-raya, yang bisa membayar siapa pun untuk mendonorkan darahnya?
Aku berusaha
menghapus pikiran buruk itu. Sebagai pendonor panggilan di sebuah rumah sakit,
aku sangat percaya bahwa kita harus ikhlas dan rela menolong sesama. Namun, aku
masih tidak memercayai hal ini. Benarkah darahku akan mengalir di tubuh orang
sombong itu?
Dengan sedikit
menarik tangan kiri Chika, kuhentikan langkahku di tengah-tengah tempat parkir
motor. “Tunggu. Kenapa harus aku?”
“Golongan
darahnya AB rhesus negatif, sama persis dengan golongan darahmu,” terang Chika
sambil terus berjalan menuju motor berwarna hitam miliknya.
⃰ ⃰ ⃰
Sampailah aku
dan Chika di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari kampusku. Chika segera
mengantarku pada seorang suster yang siap untuk mengambil darahku. Aku hanya
menurut. Mungkin ini adalah jalan pembuka bagi hati Evan yang beku untuk lebih
memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Untuk bisa berbaur dengan orang-orang
yang tak berasal dari kalangan menengah ke atas.
Aku hanya
memejamkan mata ketika suster itu mengambil darahku. Setelah beberapa menit
beristirahat di dalam ruangan pengambilan darah, ia mengantarkanku ke sebuah
kamar pasien. “Chika ada di dalam,” ujar suster itu sambil tersenyum. Aku pun
membalas senyumnya dan segera melangkahkan kakiku memasuki kamar itu.
“Siv,” panggil
Chika setengah berbisik seraya melambaikan tangannya padaku.
Aku mengerutkan
dahiku seolah tak percaya jika Chika sedang duduk di samping tempat Evan
berbaring. Di sebelahnya, ada seorang wanita yang sedang menangis dan seorang
pria di sampingnya terlihat berusaha menenangkannya. Wanita dan pria itu tampak
mengenakan pakaian berkelas. Pasti mereka adalah kedua orang tua Evan. Pasti.
Chika
menghampiriku, lalu memelukku dengan erat. Ia hanya meneteskan air matanya
tanpa berkata-kata. Kami terdiam untuk beberapa detik. Aku benar-benar tak tahu
harus berbuat apa saat melihat tubuh Evan terbaring lemah di atas tempat tidur
dengan berbagai selang yang terpasang di tubuhnya. Tak berapa lama kemudian,
wanita dan pria yang kuyakini orang tua Evan itu menghampiri kami.
Sambil terisak
dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu berkata, “Terima kasih
telah menyelamatkan saudara Chika”.
Jantungku terasa
berhenti berdetak. Saudara Chika? Apakah Evan adalah saudara kembar Chika yang
dulu pernah ia ceritakan padaku? Tapi, bukannya Chika hidup di tengah kondisi
ekonomi keluarganya yang serba kekurangan? Bahkan, bisa dibilang, aku lebih
beruntung darinya dari segi ekonomi.
Aku memaksakan
senyumku setelah Chika menyenggol pinggangku, membuatku tersadar dari
lamunanku. Usai mengusap matanya yang basah, Chika menghampiri wanita itu. Ia
mencium tangannya dan berkata, “Chika mau balik ke kampus dulu”.
Aku hanya
bergeming. Aku benar-benar tak mengerti dengan semua ini. Sebenarnya, apa yang
terjadi?
⃰ ⃰ ⃰
Di sepanjang
perjalanan menuju kampus, Chika menceritakan semuanya padaku. Ia menceritakan
bahwa ia dan Evan adalah saudara yang terpisah selama 19 tahun. Meski bukan
saudara kandung, keluarga Evan selalu mencarinya selama ini. Pasalnya, selang
beberapa hari setelah kelahiran Chika dan saudara kembarnya, kedua orang tuanya
meninggal dunia akibat kecelakaan. Saat kecelakaan itu jugalah Chika dinyatakan
hilang. Menurut kabar yang beredar, seorang pemulung menculik Chika yang baru
saja dibawa pulang dari rumah sakit tempatnya lahir. Sedangkan saudara kembar
Chika yang dirawat oleh keluarga Evan, sudah meninggal dunia lima tahun yang
lalu.
Aku benar-benar
tak habis pikir, keluarga Evan mau menerima kondisi Chika yang tampak lusuh
karena dibesarkan di tengah keluarga tidak mampu. Ah, tunggu dulu. Menerima?
Benarkah?
“Evan mau nerima
kamu?” celetukku setelah terdiam untuk beberapa saat.
Chika mengangguk
mendengar pertanyaanku. Dari kaca spion, aku dapat melihat sebuah senyum berkembang
di bibir merah mudanya yang manis. “Evan janji bakal berubah setelah dia sembuh
nanti. Dia juga minta tolong aku buat menyampaikan maaf sama teman-teman selama
ini. Oh ya, dia minta doa juga dari teman-teman. Nanti, temani aku keliling
kampus buat menyampaikan amanah ini ya, Siv,” ujar Chika.
Segera saja
kuanggukkan kepalaku tanda setuju. Aku terharu mendengarnya. Rupanya, Chika pun
tak mengambil hati atas semua ejekan yang dilontarkan Evan padanya dulu. Ia
justru berniat membantu Evan untuk berubah. Ah, indahnya saling mengasihi!
⃰ ⃰ ⃰ ⃰ ⃰
No comments:
Post a Comment