Picture taken from www.brunswick.k12.me.us through www.google.com |
Oleh:
Nina Razan
Anggapan Orang Tua Tahu yang Terbaik untuk Anaknya
rupanya memang benar. Aku saja yang terlambat memercayainya. Kini, semua telah
terjadi. Keluarga besarku sudah tidak mau menerimaku lagi, termasuk kedua orang
tuaku sendiri. Mungkin mereka sudah terlanjur sakit hati akibat perbuatan
burukku tiga tahun yang lalu.
Saat itu, aku masih
duduk di bangku kelas dua SMA. Seorang teman lelakiku menyatakan cintanya
padaku tepat saat aku merayakan ulang tahunku yang ke-17. Di tengah suasana
pesta yang ramai itu, ia memberiku seikat mawar merah dan berkata, “Bunga, aku
cinta padamu. Maukah kau menjadi kekasihku?”.
Terdengar teriakan
“Terima! Terima!” dari teman-temanku. Pipiku memerah dan jantungku berdegup
kencang. Aku sangat ingin mengambil bunga yang ia sodorkan padaku, lalu mengangguk
padanya. Namun, keinginan itu harus kupendam lantaran ibuku tidak suka pada
lelaki bernama Bagas itu. Terbukti saat aku mengalihkan pandanganku ke ibu, beliau
justru memalingkan wajahnya. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk tidak
menjawab pertanyaan Bagas dan membiarkannya terus duduk bersimpuh di depanku
hingga MC mengambil alih acara.
Sesampainya di rumah, ibu
memberi banyak pesan serta nasihat padaku. Salah satu pesannya adalah aku tidak
boleh menjalin hubungan dengan Bagas. “Dia bukan lelaki berada. Dia hanya anak
gelandangan yang keluarganya tidak jelas. Ibu sudah sering mendengar tentang dia
dari orang tua murid yang lain,” terang ibu.
Aku sedikit kesal saat ibu
mengatakan hal itu padaku. Menurutku, terlalu muna jika kita menilai seseorang
hanya dari harta dan garis keturunannya. Aku hanya diam, tidak mengiyakan
ataupun menentang ucapan ibu. Hal ini kulakukan semata-mata agar tidak terjadi
adu mulut antara aku dan ibuku. Aku hanya sanggup berujar dalam hati, ibu tidak pernah tahu jika Bagas adalah
salah satu murid pandai di sekolah.
Keesokan harinya,
ketika sang mentari mengiringi putaran roda mobilku menuju sekolah, aku masih
terbayang-bayang dengan perkataan ibu. Aku sangat kesal dan menganggap bahwa ibu
adalah orang tua yang kolot. Bahkan, sangat kolot!
Di hari itu, aku dan ibu tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Bahkan, ketika aku turun dari mobil, aku tidak mencium
tangannya seperti yang selalu kulakukan setiap hari.
Saat kakiku mulai
melangkah memasuki gerbang sekolah, tiba-tiba Bagas menghampiriku. Aku sangat
terkejut. Aku takut ibu mengetahui hal ini. Ia bisa aja memindahkanku ke sekolah
lain!
Dengan segera, kuputar
badanku dan kuedarkan pandanganku mencari mobil ibu. Setelah merasa aman karena
tidak menemukan mobil itu, aku menatap Bagas seraya berkata, “Ada apa?”
“Aku ingin menagih
jawaban darimu,” ujarnya.
Aku menarik napas
dalam-dalam sembari memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan padanya.
Sesekali, mataku melirik ke kanan dan ke kiri sambil terus berpikir. Ia terus
memperhatikanku hingga akhirnya aku memutuskan untuk pura-pura lupa. “Jawaban
apa?” tanyaku gugup.
“Jawaban atas
pernyataan cintaku kemarin. Apa aku harus mengulanginya?”
Aku kembali bergeming. Kini,
aku percaya bahwa peribahasa Bagaikan
makan buah simalakama benar-benar nyata. Ya, bisa dibilang, peribahasa itu
tepat menggambarkan keadaanku saat ini.
Di satu sisi, aku
mencintai Bagas. Dia adalah orang yang kupuja beberapa bulan belakangan. Namun,
di sisi lain, aku tidak ingin ibu terus-menerus bersikap dingin padaku. Apalagi
jika ia mengetahui aku menerima cinta Bagas, mungkin ia akan mengusirku dari
rumah kami yang mewah dan nyaman.
Tapi, apakah aku harus
menyia-nyiakan kesempatan ini, kesempatan untuk bisa memiliki orang yang
kucintai? Seumur hidupku, baru kali ini orang yang kucinta menyatakan perasaan
yang sama padaku. Aku ingin sekali menerima Bagas. Aku ingin menjadi
kekasihnya. Sungguh.
“Apa yang menahanmu?”
tanya Bagas membuyarkan lamunanku.
Aku benar-benar bingung
menghadapi situasi ini hingga akhirnya aku menceritakan semua pada Bagas. Ia
mendengarkan ceritaku dengan baik. Sesekali, ia menganggukkan kepalanya. Aku
yakin pastilah ia memahami perasaanku. Ya, pasti!
“Kamu mau kita backstreet?”
“Aku nggak bisa. Ibuku
akan mengusirku jika ia mengendus ada hubungan diantara kita,” jawabku lirih.
Tak terasa, air bening
mulai mengalir di wajahku. Perasaanku benar-benar tak karuan. Aku tidak tahu
bagaimana harus menemukan jalan keluar dari permasalahan ini.
“Aku tahu caranya agar ibumu
menyetujui hubungan kita,” Bagas kembali menatapku. Aku menghentikan tangisku
dan menunggu kalimat selanjutnya dari lelaki pujaanku itu. “Seperti yang biasa
kita lihat di TV, ini memang berat,” ujarnya setelah menghembuskan napas panjang.
Dalam pikiranku, aku
menerka-nerka perkataan Bagas selanjutnya. Mungkinkah Bagas akan membawaku
tinggal bersama keluarganya dan meninggalkan keluargaku yang selama ini
menghidupiku? Apakah aku harus meninggalkan ibu yang selama ini selalu
mengasihiku meski ayah meninggalkan kami berdua?
“Caranya?” tanyaku
dengan tatapan lekat pada Bagas.
Bagas menundukkan
kepala dan memegangnya dengan kedua tangan untuk beberapa saat. Kemudian, ia
mengangkat kepalanya dan menatapku lekat-lekat. Jantungku berdegup kencang saat
menunggu jawaban darinya.
“Ka-kamu harus”
“Harus
apa?”
“Hamil”
“Hamil”
Air mata kembali
membasahi pipiku. Aku tak sanggup berkata-kata. Tubuhku terasa lemas. Hatiku
yang semula berharap pada sebuah keajaiban seketika hancur begitu saja.
“Kalau kamu hamil, mau
tidak mau ia akan menikahkan kita berdua. Dengan begitu, kita tak perlu lagi
menutupi hubungan cinta kita,” jelas lelaki bertubuh tegap itu.
***
Waktu terus bergulir
membawaku pada sebuah perubahan drastis. Perutku semakin membesar seiring
berjalannya hari. Ibu, yang mulai curiga, akhirnya membawaku ke dokter
kandungan kepercayaannya. Di sanalah, aku mengakui perbuatan biadabku. Perbuatan
yang kini kusesali. Amat-amat kusesali.
Ibu menamparku sambil berteriak
dan menangis, tapi aku sama sekali tidak melawannya. Sebisa mungkin, aku
menahan air mata yang tak mau berhenti mengalir dari kedua mataku. Hatiku
hancur melihat ibu menangis. Seingatku, aku hanya pernah melihat ibu menangis
saat ayah memintanya bercerai. Itu saja.
“Pergi kamu! Jangan
temui ibu lagi!” teriak ibu sambil menunjuk pintu keluar dengan jari
telunjuknya.
Dengan air mata yang
menderas, aku memeluk kaki ibu dan memohon ampun padanya. Namun, semua sia-sia.
Ia berlari ke arah mobilnya meski aku terus mengejarnya dan mengucap kata maaf
berulang kali. Mobil sedan ibu melaju kencang, meninggalkanku yang masih terus
berlari mengejarnya.
Usai kejadian itu, aku
dan Bagas memutuskan untuk menyambangi rumah ibu, tapi ia mengusir kami.
Kemudian, kami menyambangi rumah ayah, nenek dan kakek, serta keluarga besarku
yang lain. Namun, hasilnya nihil. Tak ada satupun dari mereka yang mau menerima
kami atau sekadar mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya.
“Rencamu gagal,” kataku
sambil terus menangis, memecah keheningan malam di sebuah gubuk reot berukuran
3x3 meter. Bagas hanya menundukkan kepalanya tanpa mengucap sepatah kata. “Apa
rencanamu selanjutnya?” aku kembali bertanya pada lelaki di sampingku itu.
Setelah terdiam cukup
lama, Bagas mengangkat kepalanya seraya berkata, “Pertahankan janin yang ada di
dalam kandunganmu”. “Aku akan keluar dari sekolah dan mencari pekerjaan,” sambungnya
dengan senyuman. Lelaki itu meraih bahuku dengan tangan kanannya, lalu mencium
keningku.
Setitik sinar kembali
hadir di hatiku yang kelam. Aku tak mampu berbuat apa-apa kecuali menuruti
perkataan Bagas. Aku yakin, ia adalah seorang lelaki yang bertanggungjawab.
Bahkan, aku semakin yakin padanya saat ia menyerahkan sebuah celengan dari
tanah liat padaku dan mengatakan bahwa itu adalah dana nikah kami berdua.
Sebulan kemudian, tali
cinta kami disatukan dalam ikatan pernikahan. Di awal pernikahan kami, aku
merasa sangat bahagia meski tak jarang aku menangis merindukan kehangatan
keluargaku di tengah malam. Kebahagiaan kami bertambah ketika seorang bayi
laki-laki hadir di tengah-tengah kehidupan serba pas-pasan kami. Bagas memberi
nama bayi kami Brian. Menurutnya, nama itu cocok untuk bayi kami yang tampan.
Keadaan ekonomi kami
yang pas-pasan tak pernah memicu adu mulut diantara kami. Aku dan Bagas nyaris
tak pernah bertengkar. Hal itulah yang lambat laun meyakinkanku bahwa pilihanku
untuk meninggalkan orang tuaku memang sebuah pilihan yang tepat. Namun,
kebahagiaanku terenggut oleh sebuah hal yang tak pernah aku inginkan, kepergian
Bagas.
Tepat setahun yang lalu,
ketika kami sedang menemani Brian bermain, Bagas meminta izin padaku untuk
merantau ke ibukota. “Semua ini kulakukan demi kau dan Bagas. Demi asap dapur
gubuk ini agar tetap mengepul,” ujarnya meyakinkanku.
Sesungguhnya, aku
khawatir padanya. Ibukota bukanlah tempat yang dekat. Ditambah lagi, Bagas
berkata jika ia tak akan meminta uang sepeser pun dariku untuk biaya transportasinya.
“Aku janji, seminggu
dalam sebulan, aku akan mengunjungimu dan Brian. Aku akan pulang membawa hasil
jerih payahku. Percayalah padaku,” Bagas mengelus kedua tanganku sambil terus
menatapku seolah memohon izin.
Berkali-kali aku
menolaknya dan berkali-kali pula aku mendengarkan setiap argumen yang Bagas
berikan padaku. Bagiku, tiga minggu bukanlah waktu yang sebentar. Aku tak ingin
berpisah dengannya dalam waktu yang lama seperti itu. Lagipula, dimana ia akan
tinggal saat merantau nanti? Aku sangat khawatir.
***
Tibalah kami pada
masa-masa yang sulit. Uang yang kami miliki untuk menyambung hidup hanya
tersisa dua lembar uang pecahan dua ribu rupiah. Bagas telah di-PHK dari pabrik
tempat ia bekerja. Sudah ribuan kali kami berlari kesana kemari mencari
pekerjaan, tapi sebanyak itu pula kami ditolak. Dengan berat hati, aku
mengikhlaskan Bagas untuk merantau ke ibukota.
Sudah setahun ini aku
merindukan sosok Bagas. Hidupku benar-benar terpuruk tanpanya. Hutang yang
menggunung rasanya semakin membebani pikiranku. Ditambah lagi, Brian sering menanyakan
keberadaan ayahnya. Aku merasa sangat kasihan padanya. Andai sebulan yang lalu
telepon genggam milikku tak kujual untuk biaya berobat Brian yang ternyata
mengidap penyakit AIDS, mungkin kami bisa menghubungi Bagas saat kami
merindukannya.
Sayang, sosok yang kami
rindukan itu harus pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Itulah kabar
terakhir tentang Bagas yang kudapat dari tetanggaku, yang saat itu pergi
merantau bersamanya. Menurutnya, Bagas meninggal delapan bulan yang lalu akibat
tertabrak mobil. Ia sendiri baru bisa kembali setelah ia memiliki cukup uang
untuk diberikan kepada istrinya.
Kini, kepedihanku
semakin bertambah. Setelah diusir keluarga, putus sekolah, hidup miskin, banyak
hutang, dan ditinggal mati suami, kini aku baru mengetahui bahwa anakku
menderita penyakit AIDS. Aku benar-benar sangat menyesal. Pasti semua yang
kualami kini takkan terjadi jika dulu aku mendengarkan kata-kata ibuku. Tapi,
sekarang semua sudah terlambat. Penyesalanku takkan ada artinya. Inilah hidup
yang harus kujalani akibat kesalahanku sendiri di masa lalu. Ya, semua ini
salahku.
No comments:
Post a Comment