Sebelum mulai ngoceh, aku mau jelasin kenapa
aku pilih judul di atas buat jadi postinganku kali ini. Sejak aku masih duduk
di bangku SMA sampai sekarang, aku sering mendengar orang-orang berkata, “Ngapain
ambil (jurusan) IPA waktu SMA kalau ternyata kuliah di Jurusan IPS?”. Bahkan,
aku sendiri pernah berada di posisi tersebut. Waktu lulus SMP, sebenarnya aku ingin
mengambil Jurusan IPS waktu SMA. Kenapa? Karena aku membayangkan, ketika dewasa
kelak, aku akan bekerja di dunia noneksata. Aku benar-benar tidak memiliki
bayangan untuk bekerja di dunia eksakta, kecuali keinginan untuk menjadi dokter
ketika menginjak bangku SMA.
Waktu SMA, aku ikut tes seleksi masuk kelas
akselerasi mengikuti keinginan mama. Awalnya, aku pikir, tidak ada salahnya
untuk mencoba walaupun gagal. Namun, Tuhan menghendakiku untuk menghabiskan
masa SMA-ku di kelas akselerasi. Ya, aku lolos. Saat aku mengetahui hal
tersebut, awalnya aku merasa biasa saja, tapi ketika melihat kedua orang tuaku
bahagia, aku pun jadi bahagia.
Awal resmi menjadi siswa kelas akselerasi
adalah cobaan yang berat bagiku saat itu. Teman-teman SD-ku menganggap itu
merupakan hal yang biasa karena saat lulus SD, aku mendapat peringkat 2. Namun,
beberapa teman SMP-ku tidak percaya karena saat lulus SMP, aku hanya mendapat
peringkat sepuluh besar (lupa berapa tepatnya karena jelek dan sama sekali
tidak membanggakan haha). Ada pula teman-teman, bahkan orang tua teman-temanku,
yang berkata di hadapanku, “Buat apa masuk kelas aksel (akselerasi)? Masa SMA
itu masanya bergaul, bukan jadi kutu buku”, “Ngapain masuk kelas aksel? Mau
jadi anak cupu? Paling temennya cuma anak kelasnya doang” dan masih banyak
cercaan lainnya. Dulu, aku sempat menangis mendengar hal itu, tapi lama-lama aku
jadi kebal hehe.
Sungguh, seberat-beratnya cobaan adalah cobaan
ketika aku lulus SMA. Bukan karena nilaiku jelek, tapi karena aku tidak lolos
seleksi SNMPTN Undangan dan Tertulis. Aku tidak bisa berkata apa-apa mengetahui
kegagalanku tersebut. Untungnya, saat itu aku sudah diterima sebagai
satu-satunya penerima beasiswa penuh dari SMA-ku di sebuah universitas swasta
di Jakarta. Jurusan yang aku ambil di universitas swasta tersebut pun bukan
jurusan eksakta, melainkan Ilmu Komunikasi. Saat tes, aku juga tidak memilih
jurusan lain selain jurusan tersebut. Hal itu pun sempat mengejutkan papaku dan
sepertinya membuat beliau kecewa karena beliau sangat berharap aku memilih
jurusan teknik.
Tidak sedikit orang yang mulai mencercaku LAGI.
Ada yang berkata, “Ah, anak yang SMA-nya nggak (masuk kelas) aksel aja banyak
yang diterima di Kedokteran”. Ada pula yang berkata, “Ih, mungkin dia dulu
masuk (kelas) akselnya nyogok”. Ada juga yang berkata, “Tuh kan, (masuk kelas) aksel
nggak menjamin orang jadi sukses”, “Alah, ngapain masuk aksel kalau
ujung-ujungnya kuliah di universitas swasta?”, dan masih banyak lagi cercaan
yang aku terima LANGSUNG dari orang-orang. Lagi-lagi, aku menangis. Tidak, aku
tidak menangisi kegagalanku dalam SNMPTN, melainkan cercaan orang-orang yang
terus menerus menghampiriku.
Sebenarnya, saat itu ada orang, yang bahkan aku
tidak tahu siapa namanya, menawarkan “bantuan” untuk membuatku bisa berkuliah
di jurusan yang aku inginkan, tapi aku tidak mau. Aku tidak mau uang halal yang
susah payah dikumpulkan orang tuaku dari waktu ke waktu seketika habis begitu
saja dan berubah menjadi uang haram yang hanya memberi kepuasan sesaat. Aku
sadar, kegagalan itu adalah kesalahanku sehingga aku sendiri yang harus
mempertanggungjawabkannya. Orang tuaku tidak bersalah sama sekali atas
kegagalan itu sehingga mereka tidak pantas untuk mengubah hasilnya.
Lagipula, jika aku memilih jalan salah
tersebut, mungkin hanya aku yang akan tersenyum, mungkin aku tidak akan melihat
mamaku tersenyum senang saat mengetahui aku lolos dengan usahaku sendiri. Jika
aku memilih jalan salah tersebut, mungkin orang tuaku akan menyesal telah
memberiku contoh buruk tentang penyalahgunaan uang dan mungkin suatu saat aku
akan benar-benar menyesali hal itu. Ya, aku juga tidak ingin masuk ke
universitas dengan jalur haram yang mungkin suatu saat akan menjadi karma
untukku sendiri. Siapa tahu jika aku masuk ke jurusan yang aku inginkan dengan
jalur haram, aku akan mendapat DO karena tidak mampu menyelesaikan tugas akhir
hingga batas waktu yang ditentukan atau bahkan menjadi dokter yang sering
melakukan malpraktek? Bukankah hal tersebut justru akan merugikan banyak orang?
Sampai akhirnya, tiba saatnya Ujian Mandiri
universitasku saat ini. Aku masih memperjuangkan jurusan yang aku pilih saat
SNMPTN. Bedanya, kali ini aku menambahkan Jurusan Sastra Inggris. Jurusan yang
saat sekolah aku bayangkan sebagai jurusan yang tampak menyenangkan. Jurusan
yang tampak fleksibel dibanding jurusan-jurusan lain. Akhirnya, aku lolos
sebagai mahasiswa Jurusan Sastra Inggris dan aku memilih untuk melepas kuliahku
di Jakarta.
Kedua orang tuaku berulang kali memintaku untuk
memikirkan ulang pilihan tersebut. Alasannya simple, apakah aku yakin akan mendapat pekerjaan yang lebih baik
daripada sudah pasti menjadi jurnalis di sebuah TV swasta yang
ditawarkan universitasku di Jakarta? Apakah aku yakin aku akan lebih berhasil
jika aku kuliah di Semarang? Namun, aku memilih Sastra Inggris dengan mantap,
lebih mantap daripada saat aku memilih Ilmu Komunikasi di Jakarta. Lucunya,
saat itu aku baru berpikir, kenapa aku tidak memilih Jurusan Ilmu Komunikasi di
Semarang? Haha
Awal aku kuliah di Jurusan Sastra Inggris,
masih banyak orang yang mencercaku dengan kalimat-kalimatnya, seperti “Ngapain kuliah Sastra Inggris kalau
ada kursus Bahasa Inggris?”, "Sastra Inggris? Kalau lulus nanti, mau kerja jadi apa?”, "Oh, pengen jadi guru Bahasa
Inggris ya?", “Jadi, otaknya alumni aksel cuma tembus di Jurusan Sastra Inggris? Di
Semarang pula, kalau di Jakarta sih nggak apa-apa”. Semua
pertanyaan-pertanyaan tersebut awalnya aku hadapi dengan tangis, lagi. Namun,
seperti yang sudah berlalu, lama-lama aku sudah kebal dengan pertanyaan seperti
itu. By the way, untuk yang
pertanyaan yang terakhir, aku sering protes. Mereka tidak tahu kalau aku pernah
diterima di Jurusan Management di sebuah universitas di Jepang dan lain-lain,
tapi banyak pertimbangan dari diriku sendiri yang memutuskan untuk batal
berkuliah disana hehe.
Yak, kembali lagi. Semua
cercaan itu benar-benar tidak membuatku PD pada awal-awal masa kuliahku. Aku
tidak menuliskan jurusanku di “About” akun Facebook-ku (bahkan sampai sekarang),
aku tidak mau berlama-lama memakai celana olahragaku karena disitu tertulis
jurusanku, aku tak segan berkata bahwa aku tidak bangga dengan apa yang telah
aku dapatkan, dan bahkan aku sempat ingin mencoba ujian SNMPTN Tertulis pada
tahun berikutnya. Namun, masa-masa tersebut sudah aku lewati. Sekarang aku
sudah tidak malu untuk mengakui bahwa aku memang benar-benar mahasiswa Jurusan
Sastra Inggris, jurusan noneksata. Aku juga tidak malu untuk mengakui bahwa aku
memang pernah gagal.
Jika beberapa orang
menilai aku salah jurusan, tapi aku tidak merasakan hal itu. Kenapa? Karena aku
sendiri yang memilih jurusan ini, bukan orang lain. Sekarang, aku menikmati
jurusan yang sedang aku tempuh. Aku yakin jurusan ini dapat membuatku sukses
dengan standard-ku sendiri. Hal yang terpenting adalah dari perjalanan
menyakitkan yang telah aku tempuh akhirnya dapat membuat pikiranku lebih
terbuka dan dewasa.
Jangan menilai orang
dari jurusan dan universitas yang ia dapatkan. Jurusan sama sekali tidak
menentukan pekerjaan apa yang nantinya akan kita dapatkan, melainkan memberi
gambaran kasar akan menjadi apa kita nanti. Tentu, gambaran tersebut belum
tentu terwujud karena ada kemungkinan Tuhan menakdirkan kita untuk belajar dan
berproses di jurusan kita untuk bertemu dengan seseorang atau mendapat ilmu
yang justru bertolak belakang dengan pekerjaan kita nanti atau mendapat
pengalaman dan pelajaran hidup yang dapat mendewasakan kita.
Jurusan dan
universitas juga tidak menggambarkan kemampuan seseorang. Mungkin seseorang
memilih jurusan noneksakta walau ia pintar dan mampu berkuliah di jurusan
eksakta tapi ia tidak menghendaki hal itu. Mungkin juga seseorang tidak
mendaftar di universitas yang lebih baik walaupun ia pintar karena merasa tidak
mampu untuk membayar biaya berkuliah disana. Terakhir, jangan merasa sudah sukses
karena diterima di pilihan pertama SNMPTN Undangan. Kuliah bukan tujuan hidup
yang sebenarnya, jadi jangan cepat berpuas diri dulu hehe.
Oke, itu tadi
celotehan tentang jurusan yang sering diributkan orang-orang di sekitarku.
Semoga bermanfaat dan membuka pikiran kita agar menjadi pribadi yang lebih baik
lagi. Amin.
kisah hidupnya hampir sm denganku..
ReplyDeleteHIDUP AKSEL!!!
Salam sukses! :D
DeleteMemang banyak orang yang misconception ttg aksel..
ReplyDeleteOrang cerdas itu kan beda sama orang pintar, ya kan? Susah bgt ngasih tau ke orang orang yg anti aksel :'( sedih yaa
Btw, hidup Aksel juga!
Iya, begitulah kenyataannya.
DeleteTiap orang sukses di bidangnya masing-masing dan kesuksesan nggak bisa diraih tanpa rintangan.
Sedih kalau ada orang mengolok orang lain yg sedang mengalami rintangan menuju kesuksesan, kenapa nggak disemangatin dan dibantu ya :(
Yuhuu hidup aksel! :D
Semangat!
DeleteBtw sma nya mana? Aksel angkatan berapa?
SMA 1 Semarang aksel angkatan IV (2009) :)
Delete