Kemarin adalah pertama kalinya aku
liputan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kebayang dong, kalau buang sampah ke
Tempat Pembuangan Sampah (TPS) aja baunya udah bikin pengen muntah. Apalagi di
TPA... Hmm... baunya… luar biasa! Luar biasa busuk hehe.
Karena kali ini aku dan seorang
Reporter Fotografi LPM Manunggal Undip (namanya Agung) cuma liputan buat rubrik
Lensa di Majalah, semacam rubrik yang memuat foto berkisah dengan tema human interest, jadi kami lebih banyak
mengamati aktivitas “pekerja” di TPA dan mengabadikannya dalam gambar.
Lokasi TPA Jatibarang ini berada di
daerah Manyaran. Kalau dari Tembalang, waktu perjalanannya sekitar 50 menit
menggunakan sepeda motor. Dengan catatan, hapal jalan dan tidak macet hehe. Sebelum
kami sampai di TPA, kami bisa melihat pondok-pondok warga yang mungkin
berprofesi sebagai pengepul barang bekas di sepanjang jalan. Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya tumpukan barang bekas di sekitar pondok-pondok itu.
Sedangkan di dekatnya, ada kandang sapi. Baru sampai di sini saja, aroma khas
sudah mulai tercium. Pertanda kalau kami tidak salah jalan dan akan segera tiba
di lokasi.
Setibanya di TPA, kami
berjalan-jalan di zona 1 dan disambut sekumpulan sapi-sapi yang bebas
berkeliaran di TPA. Awalnya, kami hanya melihat sekitar lima atau enam sapi. Lalu,
setelah kami berjalan kaki menyusuri jalan… OMG, sapi-sapi itu jumlah sudah
tidak bisa dihitung lagi! Baaaaanyaaaaaaaaaaaaak baaaaaaaaaaangeeeeeet! Bahkan,
si Agung bilang, jumlah orang di sana sama dengan jumlah sapi yang berkeliaran
itu haha.
Sapi-sapi yang berkeliaran di atas gunungan sampah |
Jalanan zona 1 yang menurun,
membuat kami dapat melihat sampah yang menggunung dari dekat gerbang masuk. Kami
dapat melihat kerumunan sapi yang membaur dengan orang-orang yang mencari
barang-barang bekas di dekat alat berat dan truk pengangkut sampah. Awalnya,
aku sempat turun ke tengah-tengah kerumunan itu, tapi keadaan di sana sangat
becek dan sesak. Salah seorang pekerja yang melihatku hanya memakai flat shoes, bahkan menghampiriku dan
menawarkan sewa boots padanya. But sorry to say, aku memutuskan untuk mengambil
gambar di tempat lain yang tidak becek dan membiarkan Agung menyusuri kerumunan
itu.
Kerumunan orang yang berbaur dengan sapi di dekat alat berat (1) |
Kerumunan orang yang berbaur dengan sapi di dekat alat berat (2) |
Aku pun menyusuri jalan yang
dilalui truk-truk sampah. Rupanya, setelah memasuki gerbang, truk-truk tersebut
harus melalui timbangan sebelum “membongkar isinya” di kerumunan yang tadi aku
jelaskan. Para pekerja tampak tidak mempermasalahkan keadaan TPA yang seperti
itu. Mereka asyik naik-turun truk dengan lincahnya dan melakukan aktivitasnya sambil
sesekali bercanda.
Beberapa dari mereka memperingatkanku
untuk berhati-hati karena sapi-sapi di sana sering berlarian. Ada juga yang
menyuruhku memakai masker karena jalanan yang tidak becek itu sangat berdebu
dan juga berbau busuk. Sebenarnya, aku sangat ingin memakai masker yang memang
sudah aku bawa, tapi setelah dipikir-pikir, aku takut menyinggung perasaan
orang-orang di sini. Maka, aku memilih untuk tidak memakai masker dan
menyimpannya dalam tas.
Benar saja, debu langsung
berhamburan ke udara tiap kali truk-truk sampah melewati jalanan ini. Dan dari
jalanan ini juga, aku melihat sapi-sapi berlarian di gunungan sampah yang ada
di atas. Jika sapi-sapi itu melewati pondok warga, warga akan segera mengusir
sapi-sapi itu agar pondok tidak rusak. Bagaimana tidak, pondok itu rata-rata hanya
terbuat dari terpal dan beberapa potong kayu untuk menopangnya. Selain itu, terkadang
sapi-sapi itu juga mendekati truk-truk sampah yang baru saja tiba di tengah kerumunan.
Jalanan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah |
Truk sampah yang baru saja tiba di zona 1, melaju menuju kerumunan |
Aku terus menyusuri jalanan hingga
menemui pondok-pondok warga yang letaknya tak jauh dari kerumunan tadi,
tepatnya di gunungan sampah. Daerah sekitar pondok-pondok ini tidak sebecek
tempat di kerumunan, tapi juga tidak kering berdebu seperti jalanan yang
dilalui truk. Pondok-pondok ini digunakan sebagai tempat menimbang barang bekas
yang dikumpulkan para kerja. Aku kurang tahu ada berapa pondok yang ada di sana
karena dari kejauhan aku masih bisa melihat banyak pondok-pondok yang lain.
Pondok-pondok yang berdiri di tengah gunungan sampah (1) |
Pondok-pondok yang berdiri di tengah gunungan sampah (2) |
Saat aku berjalan di depan salah
satu pondok, aku melihat seorang anak-anak laki-laki yang mungkin berusia 9
atau 10 tahun sedang berjongkok di depan sebuah kaleng bekas. Aku sempat
mengambil fotonya, tapi rupanya bapak sang anak berkata pada Agung untuk memintaku
menghapus foto tersebut. Kata Agung, bapak itu berkata padanya dalam Bahasa
Jawa, “Mas, kuwi mbake kon hapus fotone
ya! Wong kuwi aku lagi nemu iwak terus tak godog og. Aku isin to mas nek difoto”.
It
shocks me! Aku bahkan tidak melihat sang bapak ketika
mengambil foto itu (setelah aku lihat foto itu, ternyata bapak itu tertutupi
badan sang anak). Aku juga tidak tahu jika mereka sedang “memasak”. Ditambah,
aku tidak bisa membayangkan mereka akan benar-benar memakan ikan temuan mereka
itu. Seketika, hatiku kacau. Lebih kacau dari patah hati karena cinta. Pertama,
aku merasa bersalah karena telah mengambil gambar mereka tanpa izin. Kedua,
rasa kemanusiaan tiba-tiba berkecamuk di dalam dada. Kenapa aku tidak bisa
mencegah mereka memakan makanan tersebut dan menggantinya dengan makanan layak?
Untuk yang pertama, solusinya
simple, aku telah menghapus foto itu. Yang kedua? Meminta maaf untuk hal
pertama saja tidak bisa aku lakukan karena bapak dan anak itu sudah pergi dari
tempat tadi. Selain itu, kami juga lupa dengan wajah mereka hehe. Untuk masalah
yang kedua, masih belum terselesaikan. Jika suatu saat aku ke sana lagi dan
membawa makanan, tentu aku tidak boleh egois hanya membawa dua makanan untuk
bapak dan anak itu. Aku harus membawa makanan untuk seluruh orang yang ada di
sana, untuk yang mengingatkanku tentang kelakuan sapi, untuk yang mengajakku
berbicara dengan Bahasa Jawa tapi aku tidak paham hehe, untuk yang menyuruhku
menggunakan masker, untuk yang menawarkan sewa boots, untuk yang memintaku untuk memfoto mereka, dan masih banyak
lagi.
Ternyata, setelah “terjun” di
kerumunan, Agung sempat menyambangi pondok-pondok warga yang letaknya hanya
beberapa meter dari kerumunan. Katanya, pondok-pondok itu ada yang digunakan
sebagai tempat beristirahat sejenak untuk melepas penat setelah mencari
barang-barang bekas. Bahkan, dia melihat beberapa keluarga sedang duduk-duduk
di sana.
Setelah kurang lebih satu jam
berada di TPA Jatibarang, aku benar-benar sudah tidak kuat menahan bau
yang benar-benar menusuk hidung. Perutku mulai mual dan aku mengajak Agung
untuk segera pulang.
Banyak pelajaran yang bisa diambil
dari liputan kali ini. Intinya, liputan kali ini mengingatkan aku untuk selalu bersyukur dengan segala sesuatu yang telah aku dapatkan. Yang lebih penting lagi, kelak jika aku bekerja, aku harus mencintai dan menghargai pekerjaanku, apapun risikonya,
selama pekerjaan itu dibenarkan agama dan tidak merugikan atau bahkan menyakiti
orang lain, kenapa harus malu untuk mengakuinya?
Picture taken from thedailyquotes.com through www.google.com |
waw... aku gak nyangka kamu nulis blog tentang perjalanan kita kesana mbak... danbaru aku buka juga.... waaaaah keren... itu juga foto" ku juga hu.m mbak?/
ReplyDeleteBiar bisa diinget terus gung, jadi harus ditulis hehe
DeleteBukan gung, itu foto-foto dari kamera ponselku kok.
Foto-fotomu biar jadi arsipmu dan Manunggal aja.
Kapan hunting foto unik lagi? Haha
kalau boleh tau ancer" dari tembalang mau ke pemukiman Marga tpa jatibarang apa ya?
ReplyDelete