Tuesday, October 28, 2014

Aktivis Kampus, Beraktivitas sampai Mampus

Picture taken from www.masramdahsyat.blogspot.com through www.google.com

Menjadi bagian dari sebuah organisasi mahasiswa tentu memiliki konsekuensi tersendiri. Apalagi jika jabatan yang diamanahkan sudah mencapai puncak, sementara jabatan di organisasi lain masih dipegang. Lantas, apa yang harus dilakukan jika waktu kuliah, pribadi, dan berorganisasi bertabrakan? Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi segala permasalahan yang terjadi?
Menghindari diri dari masalah bukan jawaban dari segala macam persoalan. Membentengi diri dengan berbagai macam alasan pun bukan jawaban yang tepat. Tantangan yang membentang di depan mata mestinya dimaknai sebagi risiko yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dihadapi seorang aktivis kampus. Jika tidak mampu menghadapinya, lebih baik mengundurkan diri.
Seorang aktivis kampus sejati pasti merasa belum puas dengan segala yang ia peroleh dari organisasinya. Ada saja hal yang dirasanya masih harus ia lakukan sebelum demisioner. Ada saja hal yang ingin ia ‘wariskan’ kepada pengurus organisasi tahun berikutnya. Maka, seorang aktivis kampus tidak akan menyerah begitu saja ketika berbagai persoalan datang bertubi-tubi padanya.
Seorang aktivis kampus yang telah menduduki jabatan sebagai pemimpin di sebuah organisasi mahasiswa biasanya memiliki tantangan yang jauh lebih besar dari rekannya. Mengapa?
Pertama, mahasiswa yang bukan anggota dari sebuah organisasi, tentu akan melihat track record dan perilaku pemimpin organisasi sebelum atau sesudah mengenal organisasi tersebut. Penilaian yang mereka berikan, baik itu bagus maupun tidak, akan menjadi cap yang melekat pada nama organisasi tersebut. Maka, seorang pemimpin organisasi mahasiswa harus membekali dirinya dengan prestasi serta perilaku yang baik. Sedikit saja sang pemimpin melakukan kesalahan, citra organisasi dapat tercoreng.
Kedua, kinerja pengurus organisasi, baik dan buruknya, menjadi tanggung jawab sang pemimpin. Jika kinerja pengurusnya kurang atau bahkan tidak baik, tentu sang pemimpin akan menjadi bahan makian. Mengapa pemimpin tidak mencegah pengurus melakukan hal itu? Mengapa pemimpin menyetujui apa yang dilakukan pengurusnya?
Ketiga, segala ucapan pemimpin akan diperhatikan betul oleh para pengurusnya dan bahkan orang lain. Ketika ia lupa atas ucapannya, hal tersebut akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan pengurus serta publik tentang dirinya dan juga organisasinya. Bisa jadi, pengurus tak lagi memiliki rasa hormat dan percaya pada sang pemimpin sehingga kondisi internal organisasi dapat terganggu. Sedangkan di mata eksternal, lagi-lagi sang pemimpin menjadi label bagi organisasinya.
Keempat, pemimpin harus pandai membagi waktu, hati, dan pikiran. Hal ini tidak hanya berlaku untuk kehidupannya secara umum, melainkan juga untuk internal dan eksternal organisasi. Pemimpin tidak boleh terlalu sering “ke luar”, tetapi juga tetap harus “tinggal di dalam”. Pemimpin tidak boleh terlalu fokus pada departemen yang pernah ia “tinggali”. Ia harus menyambangi satu per satu departemen, bahkan jauh lebih baik lagi, jika ia mau menyambangi satu per satu pengurus. Meski tidak paham dengan hal-hal tertentu dalam sebuah departemen, ia wajib mempelajari hal tersebut agar tidak terjadi ketimpangan.
Kelima, pemimpin organisasi harus rela berkorban. Ketika ada panggilan darurat di mana ia sebagai pemimpin organisasi harus hadir padahal saat itu juga ada kuliah, sang pemimpin harus mengorbankan salahsatunya. Ketika sang pemimpin sudah lama tidak pulang ke kampung halamannya di luar pulau tapi ternyata organisasi mengadakan sebuah acara besar di hari libur kuliah, sang pemimpin harus kembali berkorban. Masih banyak contoh pengorbanan, mulai dari yang remeh-temeh hingga yang kompleks, yang dihadapi oleh seorang pemimpin. Pilihannya hanya satu, korbankan salah satu.
Selain pemimpin, pengurus biasa pun acap kali mendapat tantangan yang tak kalah rumit. Umumnya, hal ini disebabkan organisasi yang ia ikuti terlalu banyak padahal manajemen waktu yang ia lakukan kurang baik sehingga tugas serta kewajiban yang harus ia kerjakan saling bertabrakan.
Sudah seharusnya seorang aktivis kampus memegang teguh komitmennya pada organisasi. Jika ia mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawab pada lebih dari satu organisasi, tentu hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun, jika tidak, tentu harus ada organisasi yang dikorbankan. Harus ada organisasi yang ditinggal demi kebaikan bersama.
Kegiatan para aktivis kampus memang kerap menyita waktu pribadinya, bahkan tak jarang mengorbankan kesehatan saat kondisi sedang tidak bersahabat. Maka, berpikirlah kembali sebelum menentukan pilihan pada organisasi apa kamu akan mengabdi. Jangan anggap menjadi aktivis kampus itu sebuah pekerjaan yang mudah. Pikirkan baik-baik tujuan mengikuti sebuah organisasi mahasiswa dan manfaat apa yang akan diperoleh. Dengan demikian, tidak ada kata menyesal dan menyerah ketika menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan organisasi kampus. Salam mahasiswa!

No comments:

Post a Comment