Sunday, June 30, 2013

Movie Review: Di Timur Matahari

Picture taken from www.kabar2.com through www.google.com

Produser             : Ari Sihasale
Sutradara            : Ari Sihasale
Penulis Naskah   : Jeremias Nyangoen
Pemeran             : Lukman Sardi, Laura Basuki, Ringgo Agus Rahman, Ririn Ekawati, Putri Nere, Simson Sikoway, Abetnego Yogibalom, Michael Jakarimilena, Lucky Martin
Rilis                    : 14 Juni 2012

Film berjudul Di Timur Matahari merupakan film yang menceritakan kehidupan sosial masyarakat Papua yang tinggal di daerah pegunungan. Karena letaknya yang jauh dari kehidupan “luar”, konflik yang muncul di tengah masyarakat di sana tampak berbeda dengan konflik masyarakat perkotaan. Meski demikian, film ini dapat dikatakan berhasil menciptakan konflik sederhana yang logis dan terasa nyata.

Cerita dalam film ini bermula ketika Mazmur berlari ke sebuah lapangan yang luas lalu memandang langit, berharap akan kedatangan sosok guru yang tak kunjung datang selama enam bulan. Dari Bapak Yakob, seorang pria setengah baya, dia tahu bahwa guru yang dinantikannya tidak kunjung datang. Sambil berharap dan menunggu, dia mengajak teman-temannya (Thomas, Yokim, Agnes, dan Suryani) untuk bernyanyi dan bermain di ruang kelas yang fasilitasnya sangat terbatas.

Hari berganti hari, tapi guru yang mereka nantikan masih belum menampakkan batang hidungnya. Akhirnya, Mazmur dan teman-temannya pergi menemui Ucok dan Jolex untuk meminta pekerjaan. Namun, Ucok dan Jolex menolaknya karena mereka masih kecil. Kemudian, mereka mencari pengetahuan dari Pendeta Samuel dan Dokter Fatimah.

Sebuah kejadian heboh tiba-tiba terjadi ketika ayah Mazmur, Blasius, menerima uang palsu dari warga kampung sebelah dalam jual-beli burung. Setelah menyadari hal tersebut, Blasius naik pitam dan memukuli orang yang telah menipunya. Sayangnya, hal ini diketahui banyak orang dan akhirnya membuat dia terbunuh oleh anak panah yang diluncurkan Joseph, ayah Agnes, yang berasal dari kampung sebelah.

Kematian Blasius membuat Michael, adik Blasius yang sejak kecil dibesarkan di Jawa oleh “Mama Jawa”, terbang ke Papua bersama Vina, istrinya yang beretnis Tionghoa. Michael, yang memiliki pandangan maju dan terbuka, berusaha memberi pengertian pada Alex, adiknya, bahwa kematian Blasius merupakan kehendak Tuhan sehingga tidak perlu ada balas dendam. Namun, Alex mengelak. Baginya, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Akhirnya, perang antarsuku tidak terelakkan.

Pendeta Samuel membantu Michael untuk menyadarkan Alex. Secara tegas, dia mengusir Alex dan warga lain yang membawa senjata masuk ke gereja. Dia pun mengingatkan mereka bahwa Tuhan melarang hamba-Nya untuk balas dendam dan saling menyakiti. Bahkan, Dokter Fatimah dengan tegas menyatakan bahwa dia tidak akan mau mengobati warga yang terluka akibat perang.

Sayangnya, Alex dan warga lainnya tidak mengindahkan nasihat-nasihat yang ditujukan pada mereka. Tak lama setelah Alex dan warga lain pergi, tersiar kabar bahwa seluruh Hanoi di kampung sebelah habis terbakar. Perang pun berlanjut, Alex, Joseph, dan warga lain terbunuh. Namun, Mazmur dan teman-temannya tetap bersahabat dan saling menguatkan ketika salah satu anggota keluarga mereka terbunuh.

Dengan tingkah polos Mazmur dan teman-temannya, mereka bernyanyi di tengah perang antarsuku yang akhirnya menyadarkan warga bahwa perang hanya menghancurkan mereka. Warga yang hatinya tersentuh dengan nyanyian bocah-bocah polos itu segera menurunkan senjatanya dan bergandengantangan.

Secara keseluruhan, cerita sederhana yang menjadi inti film ini benar-benar dikemas dengan sangat baik. Siapa yang tak tersentuh hatinya mendengar anak-anak Papua menyanyikan Lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa meski mereka sudah lama tak melihat sosok pahlawan tanpa tanda jasa tersebut dan dengan bangga menyanyikan Lagu Aku Papua dengan riang gembira? Siapa yang tak tersentuh hatinya melihat kebersamaan Mazmur dan teman-temannya di tengah perang antarsuku yang mencekam? Segera siapkan tisu sebelum menonton film ini!

No comments:

Post a Comment