|
Siang
kemarin, salah seorang teman saya bertanya apakah saya menyembunyikan telepon
genggam miliknya atau tidak. Saya menjawab dengan jujur bahwa saya tidak
menyembunyikannya walaupun setelah itu saya tertawa kecil. Rupanya, dia tidak
percaya dengan jawabannya saya dan dia bersikeras meminta saya untuk
mengembalikan telepon genggam miliknya.
Merasa
saya tidak memberi respons yang jelas, emosinya tersulut hingga dia berujar, “Bener
lu nggak nyembunyiin? Sumpah ya? Lu bakal mati kalau gua tahu lu yang
nyembunyiin! Mati lu!”. Karena memang merasa tidak bersalah, saya hanya
mengiyakan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia pun kembali mencari
telepon genggam miliknya. Namun, selang beberapa saat, dia kembali pada saya.
Dia meraih tangan kanan saya sambil bersumpah, “Demi apa lu nggak nyembunyiin
hp gua? Demi Allah? Gua sumpahin lu mati kalau nyembunyiin hp gua!”.
Awalnya,
saya hanya berpikir sumpah yang dia lontarkan hanya sekadar candaan yang
diungkapkan dalam keadaan kalut dan emosi yang tinggi, bukan perkataan serius.
Namun, ketika teman saya yang lain berkata, “Parah banget dia sampe nyumpahin
orang mati segala. Dia bukan Tuhan kali!”, saya benar-benar memasukkan
tanggapan itu dalam hati saya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, tanggapan
teman saya berulang kali terlintas di benak saya. Ya, tidak ada yang berhak
menyumpah orang lain untuk mati hanya karena hal sepele.
Saya
membayangkan, jika setelah kejadian itu saya benar-benar meninggal dunia,
apakah teman saya akan menyesal dengan sumpah yang telah ia lontarkan? Akankah dia
mendekati jenasah saya dan berkata, “Maaf, saya menyesal sudah menyumpahmu”?
Atau justru dia akan mendapat kepuasan batin tersendiri karena sumpahnya terkabul?
Banyak
quotation mengenai ucapan yang saya ingat
ketika menulis artikel ini, seperti “Mulutmu, Harimaumu”, “Ucapan yang baik bagai
bunga teratai yang keluar dari mulut, ucapan yang buruk bagai bisa ular yang
disemburkan dari mulut”, “Jagalah lisanmu!”, “Aku tidak pernah menyesal atas
kata-kata yang tidak pernah aku ucapkan, tetapi aku kerapkali menyesali ucapan
yang pernah aku ucapkan”, “Think before
you speak!”, dan juga “Remember not only to say the right thing in
the right place, but far more difficult still, to leave unsaid the wrong thing
at the tempting moment”.
Intinya, dalam emosi
setinggi apapun, kita harus menjaga lisan kita dari perkataan yang dapat
merugikan orang lain. Jangan menyumpah orang lain walaupun dia telah menyakiti
hati kita, sesakit apapun itu. Jika ada yang menyakiti hati kita, jangan
sekali-kali mencoba membalasnya karena tanpa kita minta, Tuhan selalu punya
cara-Nya sendiri untuk menghukum umat-Nya yang bersalah. Terakhir, jangan
sampai kita menyesali perkataan yang telah kita lontarkan ya! Be wise! J
No comments:
Post a Comment