Tuesday, July 31, 2012

Darahku Dalam Ragamu

Picture taken from www.brunswick.k12.me.us through www.google.com


Oleh: Nina Razan


 “Siva,” panggil seseorang sembari menepuk pundak kananku.
Prak! Ponselku terjatuh. Casing berwarna pink yang membungkus baterai ponsel terlepas dan jatuh ke lantai.
“Ah!” aku berteriak.
“Siva. Sorry, Siv,”

Alih-alih menjawab, aku justru memunguti bagian-bagian ponselku yang terjatuh itu dan segera menyatukannya kembali. Jantungku berdegup kencang. Bisa kubayangkan dalam benakku, ibuku pasti akan marah besar padaku jika ia mengetahui ponsel ini rusak. Pasalnya, ini kali kelimanya aku mengganti ponselku setelah empat kali rusak.
“Siv,” orang itu kembali memegang pundakku seraya menggigit bibir bawahnya.
Aku segera menepis tangannya dan membalikkan badanku, “Kalau rusak, kamu harus ganti! Harus!”.
Kulihat Chika memanyunkan bibirnya. Ternyata, orang yang mengagetkanku tadi adalah dirinya. “Siv, ada yang butuh bantuan kamu,” ujarnya tanpa menatap mataku. Pandangannya tertuju pada jemariku yang masih berusaha membenahi ponselku.
“Siapa?”
Setelah beberapa kali mengedarkan pandangannya, Chika mendekatkan bibirnya pada telingaku. Sambil sedikit berbisik, ia menjawab pertanyaanku, “Evan. Dia butuh darah”.
Aku terkejut. Selama aku mengenyam pendidikan disini, aku belum pernah mendengar mahasiswa bernama Evan selain lelaki tampan yang terkenal sombong dan suka mencaci maki orang-orang di kampusku. “Evan siapa?”
“Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Buruan, dia benar-benar butuh kamu,” ujar Chika sembari menarik tangan kananku.
Meski tubuhku sudah bergerak mengikuti Chika, aku masih tak habis pikir mengapa harus aku yang menolongnya? Bukankan Evan adalah seorang anak yang terlahir dalam kondisi kaya-raya, yang bisa membayar siapa pun untuk mendonorkan darahnya?
Aku berusaha menghapus pikiran buruk itu. Sebagai pendonor panggilan di sebuah rumah sakit, aku sangat percaya bahwa kita harus ikhlas dan rela menolong sesama. Namun, aku masih tidak memercayai hal ini. Benarkah darahku akan mengalir di tubuh orang sombong itu?
Dengan sedikit menarik tangan kiri Chika, kuhentikan langkahku di tengah-tengah tempat parkir motor. “Tunggu. Kenapa harus aku?”
“Golongan darahnya AB rhesus negatif, sama persis dengan golongan darahmu,” terang Chika sambil terus berjalan menuju motor berwarna hitam miliknya.

     
Sampailah aku dan Chika di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari kampusku. Chika segera mengantarku pada seorang suster yang siap untuk mengambil darahku. Aku hanya menurut. Mungkin ini adalah jalan pembuka bagi hati Evan yang beku untuk lebih memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Untuk bisa berbaur dengan orang-orang yang tak berasal dari kalangan menengah ke atas.
Aku hanya memejamkan mata ketika suster itu mengambil darahku. Setelah beberapa menit beristirahat di dalam ruangan pengambilan darah, ia mengantarkanku ke sebuah kamar pasien. “Chika ada di dalam,” ujar suster itu sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumnya dan segera melangkahkan kakiku memasuki kamar itu.
“Siv,” panggil Chika setengah berbisik seraya melambaikan tangannya padaku.
Aku mengerutkan dahiku seolah tak percaya jika Chika sedang duduk di samping tempat Evan berbaring. Di sebelahnya, ada seorang wanita yang sedang menangis dan seorang pria di sampingnya terlihat berusaha menenangkannya. Wanita dan pria itu tampak mengenakan pakaian berkelas. Pasti mereka adalah kedua orang tua Evan. Pasti.
Chika menghampiriku, lalu memelukku dengan erat. Ia hanya meneteskan air matanya tanpa berkata-kata. Kami terdiam untuk beberapa detik. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa saat melihat tubuh Evan terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai selang yang terpasang di tubuhnya. Tak berapa lama kemudian, wanita dan pria yang kuyakini orang tua Evan itu menghampiri kami.
Sambil terisak dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu berkata, “Terima kasih telah menyelamatkan saudara Chika”.
Jantungku terasa berhenti berdetak. Saudara Chika? Apakah Evan adalah saudara kembar Chika yang dulu pernah ia ceritakan padaku? Tapi, bukannya Chika hidup di tengah kondisi ekonomi keluarganya yang serba kekurangan? Bahkan, bisa dibilang, aku lebih beruntung darinya dari segi ekonomi.
Aku memaksakan senyumku setelah Chika menyenggol pinggangku, membuatku tersadar dari lamunanku. Usai mengusap matanya yang basah, Chika menghampiri wanita itu. Ia mencium tangannya dan berkata, “Chika mau balik ke kampus dulu”.
Aku hanya bergeming. Aku benar-benar tak mengerti dengan semua ini. Sebenarnya, apa yang terjadi?

     
Di sepanjang perjalanan menuju kampus, Chika menceritakan semuanya padaku. Ia menceritakan bahwa ia dan Evan adalah saudara yang terpisah selama 19 tahun. Meski bukan saudara kandung, keluarga Evan selalu mencarinya selama ini. Pasalnya, selang beberapa hari setelah kelahiran Chika dan saudara kembarnya, kedua orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan. Saat kecelakaan itu jugalah Chika dinyatakan hilang. Menurut kabar yang beredar, seorang pemulung menculik Chika yang baru saja dibawa pulang dari rumah sakit tempatnya lahir. Sedangkan saudara kembar Chika yang dirawat oleh keluarga Evan, sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu.
Aku benar-benar tak habis pikir, keluarga Evan mau menerima kondisi Chika yang tampak lusuh karena dibesarkan di tengah keluarga tidak mampu. Ah, tunggu dulu. Menerima? Benarkah?
“Evan mau nerima kamu?” celetukku setelah terdiam untuk beberapa saat.
Chika mengangguk mendengar pertanyaanku. Dari kaca spion, aku dapat melihat sebuah senyum berkembang di bibir merah mudanya yang manis. “Evan janji bakal berubah setelah dia sembuh nanti. Dia juga minta tolong aku buat menyampaikan maaf sama teman-teman selama ini. Oh ya, dia minta doa juga dari teman-teman. Nanti, temani aku keliling kampus buat menyampaikan amanah ini ya, Siv,” ujar Chika.
Segera saja kuanggukkan kepalaku tanda setuju. Aku terharu mendengarnya. Rupanya, Chika pun tak mengambil hati atas semua ejekan yang dilontarkan Evan padanya dulu. Ia justru berniat membantu Evan untuk berubah. Ah, indahnya saling mengasihi!

            

No comments:

Post a Comment