Friday, August 31, 2012

Penyesalan yang Tak Berarti

Picture taken from www.brunswick.k12.me.us through www.google.com

Oleh: Nina Razan


Anggapan Orang Tua Tahu yang Terbaik untuk Anaknya rupanya memang benar. Aku saja yang terlambat memercayainya. Kini, semua telah terjadi. Keluarga besarku sudah tidak mau menerimaku lagi, termasuk kedua orang tuaku sendiri. Mungkin mereka sudah terlanjur sakit hati akibat perbuatan burukku tiga tahun yang lalu.

Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Seorang teman lelakiku menyatakan cintanya padaku tepat saat aku merayakan ulang tahunku yang ke-17. Di tengah suasana pesta yang ramai itu, ia memberiku seikat mawar merah dan berkata, “Bunga, aku cinta padamu. Maukah kau menjadi kekasihku?”.
Terdengar teriakan “Terima! Terima!” dari teman-temanku. Pipiku memerah dan jantungku berdegup kencang. Aku sangat ingin mengambil bunga yang ia sodorkan padaku, lalu mengangguk padanya. Namun, keinginan itu harus kupendam lantaran ibuku tidak suka pada lelaki bernama Bagas itu. Terbukti saat aku mengalihkan pandanganku ke ibu, beliau justru memalingkan wajahnya. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Bagas dan membiarkannya terus duduk bersimpuh di depanku hingga MC mengambil alih acara.
Sesampainya di rumah, ibu memberi banyak pesan serta nasihat padaku. Salah satu pesannya adalah aku tidak boleh menjalin hubungan dengan Bagas. “Dia bukan lelaki berada. Dia hanya anak gelandangan yang keluarganya tidak jelas. Ibu sudah sering mendengar tentang dia dari orang tua murid yang lain,” terang ibu.
Aku sedikit kesal saat ibu mengatakan hal itu padaku. Menurutku, terlalu muna jika kita menilai seseorang hanya dari harta dan garis keturunannya. Aku hanya diam, tidak mengiyakan ataupun menentang ucapan ibu. Hal ini kulakukan semata-mata agar tidak terjadi adu mulut antara aku dan ibuku. Aku hanya sanggup berujar dalam hati, ibu tidak pernah tahu jika Bagas adalah salah satu murid pandai di sekolah.
Keesokan harinya, ketika sang mentari mengiringi putaran roda mobilku menuju sekolah, aku masih terbayang-bayang dengan perkataan ibu. Aku sangat kesal dan menganggap bahwa ibu adalah orang tua yang kolot. Bahkan, sangat kolot!
 Di hari itu, aku dan ibu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, ketika aku turun dari mobil, aku tidak mencium tangannya seperti yang selalu kulakukan setiap hari.
Saat kakiku mulai melangkah memasuki gerbang sekolah, tiba-tiba Bagas menghampiriku. Aku sangat terkejut. Aku takut ibu mengetahui hal ini. Ia bisa aja memindahkanku ke sekolah lain!
Dengan segera, kuputar badanku dan kuedarkan pandanganku mencari mobil ibu. Setelah merasa aman karena tidak menemukan mobil itu, aku menatap Bagas seraya berkata, “Ada apa?”
“Aku ingin menagih jawaban darimu,” ujarnya.
Aku menarik napas dalam-dalam sembari memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan padanya. Sesekali, mataku melirik ke kanan dan ke kiri sambil terus berpikir. Ia terus memperhatikanku hingga akhirnya aku memutuskan untuk pura-pura lupa. “Jawaban apa?” tanyaku gugup.
“Jawaban atas pernyataan cintaku kemarin. Apa aku harus mengulanginya?”
Aku kembali bergeming. Kini, aku percaya bahwa peribahasa Bagaikan makan buah simalakama benar-benar nyata. Ya, bisa dibilang, peribahasa itu tepat menggambarkan keadaanku saat ini.
Di satu sisi, aku mencintai Bagas. Dia adalah orang yang kupuja beberapa bulan belakangan. Namun, di sisi lain, aku tidak ingin ibu terus-menerus bersikap dingin padaku. Apalagi jika ia mengetahui aku menerima cinta Bagas, mungkin ia akan mengusirku dari rumah kami yang mewah dan nyaman.
Tapi, apakah aku harus menyia-nyiakan kesempatan ini, kesempatan untuk bisa memiliki orang yang kucintai? Seumur hidupku, baru kali ini orang yang kucinta menyatakan perasaan yang sama padaku. Aku ingin sekali menerima Bagas. Aku ingin menjadi kekasihnya. Sungguh.
“Apa yang menahanmu?” tanya Bagas membuyarkan lamunanku.
Aku benar-benar bingung menghadapi situasi ini hingga akhirnya aku menceritakan semua pada Bagas. Ia mendengarkan ceritaku dengan baik. Sesekali, ia menganggukkan kepalanya. Aku yakin pastilah ia memahami perasaanku. Ya, pasti!
“Kamu mau kita backstreet?”
“Aku nggak bisa. Ibuku akan mengusirku jika ia mengendus ada hubungan diantara kita,” jawabku lirih.
Tak terasa, air bening mulai mengalir di wajahku. Perasaanku benar-benar tak karuan. Aku tidak tahu bagaimana harus menemukan jalan keluar dari permasalahan ini.
“Aku tahu caranya agar ibumu menyetujui hubungan kita,” Bagas kembali menatapku. Aku menghentikan tangisku dan menunggu kalimat selanjutnya dari lelaki pujaanku itu. “Seperti yang biasa kita lihat di TV, ini memang berat,” ujarnya setelah menghembuskan napas panjang.
Dalam pikiranku, aku menerka-nerka perkataan Bagas selanjutnya. Mungkinkah Bagas akan membawaku tinggal bersama keluarganya dan meninggalkan keluargaku yang selama ini menghidupiku? Apakah aku harus meninggalkan ibu yang selama ini selalu mengasihiku meski ayah meninggalkan kami berdua?
“Caranya?” tanyaku dengan tatapan lekat pada Bagas.
Bagas menundukkan kepala dan memegangnya dengan kedua tangan untuk beberapa saat. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan menatapku lekat-lekat. Jantungku berdegup kencang saat menunggu jawaban darinya.
“Ka-kamu harus”
“Harus apa?”
“Hamil”
Air mata kembali membasahi pipiku. Aku tak sanggup berkata-kata. Tubuhku terasa lemas. Hatiku yang semula berharap pada sebuah keajaiban seketika hancur begitu saja.
“Kalau kamu hamil, mau tidak mau ia akan menikahkan kita berdua. Dengan begitu, kita tak perlu lagi menutupi hubungan cinta kita,” jelas lelaki bertubuh tegap itu.
***
Waktu terus bergulir membawaku pada sebuah perubahan drastis. Perutku semakin membesar seiring berjalannya hari. Ibu, yang mulai curiga, akhirnya membawaku ke dokter kandungan kepercayaannya. Di sanalah, aku mengakui perbuatan biadabku. Perbuatan yang kini kusesali. Amat-amat kusesali.
Ibu menamparku sambil berteriak dan menangis, tapi aku sama sekali tidak melawannya. Sebisa mungkin, aku menahan air mata yang tak mau berhenti mengalir dari kedua mataku. Hatiku hancur melihat ibu menangis. Seingatku, aku hanya pernah melihat ibu menangis saat ayah memintanya bercerai. Itu saja.
“Pergi kamu! Jangan temui ibu lagi!” teriak ibu sambil menunjuk pintu keluar dengan jari telunjuknya.
Dengan air mata yang menderas, aku memeluk kaki ibu dan memohon ampun padanya. Namun, semua sia-sia. Ia berlari ke arah mobilnya meski aku terus mengejarnya dan mengucap kata maaf berulang kali. Mobil sedan ibu melaju kencang, meninggalkanku yang masih terus berlari mengejarnya.
Usai kejadian itu, aku dan Bagas memutuskan untuk menyambangi rumah ibu, tapi ia mengusir kami. Kemudian, kami menyambangi rumah ayah, nenek dan kakek, serta keluarga besarku yang lain. Namun, hasilnya nihil. Tak ada satupun dari mereka yang mau menerima kami atau sekadar mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya.
“Rencamu gagal,” kataku sambil terus menangis, memecah keheningan malam di sebuah gubuk reot berukuran 3x3 meter. Bagas hanya menundukkan kepalanya tanpa mengucap sepatah kata. “Apa rencanamu selanjutnya?” aku kembali bertanya pada lelaki di sampingku itu.
Setelah terdiam cukup lama, Bagas mengangkat kepalanya seraya berkata, “Pertahankan janin yang ada di dalam kandunganmu”. “Aku akan keluar dari sekolah dan mencari pekerjaan,” sambungnya dengan senyuman. Lelaki itu meraih bahuku dengan tangan kanannya, lalu mencium keningku.
Setitik sinar kembali hadir di hatiku yang kelam. Aku tak mampu berbuat apa-apa kecuali menuruti perkataan Bagas. Aku yakin, ia adalah seorang lelaki yang bertanggungjawab. Bahkan, aku semakin yakin padanya saat ia menyerahkan sebuah celengan dari tanah liat padaku dan mengatakan bahwa itu adalah dana nikah kami berdua.
Sebulan kemudian, tali cinta kami disatukan dalam ikatan pernikahan. Di awal pernikahan kami, aku merasa sangat bahagia meski tak jarang aku menangis merindukan kehangatan keluargaku di tengah malam. Kebahagiaan kami bertambah ketika seorang bayi laki-laki hadir di tengah-tengah kehidupan serba pas-pasan kami. Bagas memberi nama bayi kami Brian. Menurutnya, nama itu cocok untuk bayi kami yang tampan.
Keadaan ekonomi kami yang pas-pasan tak pernah memicu adu mulut diantara kami. Aku dan Bagas nyaris tak pernah bertengkar. Hal itulah yang lambat laun meyakinkanku bahwa pilihanku untuk meninggalkan orang tuaku memang sebuah pilihan yang tepat. Namun, kebahagiaanku terenggut oleh sebuah hal yang tak pernah aku inginkan, kepergian Bagas.
Tepat setahun yang lalu, ketika kami sedang menemani Brian bermain, Bagas meminta izin padaku untuk merantau ke ibukota. “Semua ini kulakukan demi kau dan Bagas. Demi asap dapur gubuk ini agar tetap mengepul,” ujarnya meyakinkanku.
Sesungguhnya, aku khawatir padanya. Ibukota bukanlah tempat yang dekat. Ditambah lagi, Bagas berkata jika ia tak akan meminta uang sepeser pun dariku untuk biaya transportasinya.
“Aku janji, seminggu dalam sebulan, aku akan mengunjungimu dan Brian. Aku akan pulang membawa hasil jerih payahku. Percayalah padaku,” Bagas mengelus kedua tanganku sambil terus menatapku seolah memohon izin.
Berkali-kali aku menolaknya dan berkali-kali pula aku mendengarkan setiap argumen yang Bagas berikan padaku. Bagiku, tiga minggu bukanlah waktu yang sebentar. Aku tak ingin berpisah dengannya dalam waktu yang lama seperti itu. Lagipula, dimana ia akan tinggal saat merantau nanti? Aku sangat khawatir.
***
Tibalah kami pada masa-masa yang sulit. Uang yang kami miliki untuk menyambung hidup hanya tersisa dua lembar uang pecahan dua ribu rupiah. Bagas telah di-PHK dari pabrik tempat ia bekerja. Sudah ribuan kali kami berlari kesana kemari mencari pekerjaan, tapi sebanyak itu pula kami ditolak. Dengan berat hati, aku mengikhlaskan Bagas untuk merantau ke ibukota.
Sudah setahun ini aku merindukan sosok Bagas. Hidupku benar-benar terpuruk tanpanya. Hutang yang menggunung rasanya semakin membebani pikiranku. Ditambah lagi, Brian sering menanyakan keberadaan ayahnya. Aku merasa sangat kasihan padanya. Andai sebulan yang lalu telepon genggam milikku tak kujual untuk biaya berobat Brian yang ternyata mengidap penyakit AIDS, mungkin kami bisa menghubungi Bagas saat kami merindukannya.
Sayang, sosok yang kami rindukan itu harus pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Itulah kabar terakhir tentang Bagas yang kudapat dari tetanggaku, yang saat itu pergi merantau bersamanya. Menurutnya, Bagas meninggal delapan bulan yang lalu akibat tertabrak mobil. Ia sendiri baru bisa kembali setelah ia memiliki cukup uang untuk diberikan kepada istrinya.
Kini, kepedihanku semakin bertambah. Setelah diusir keluarga, putus sekolah, hidup miskin, banyak hutang, dan ditinggal mati suami, kini aku baru mengetahui bahwa anakku menderita penyakit AIDS. Aku benar-benar sangat menyesal. Pasti semua yang kualami kini takkan terjadi jika dulu aku mendengarkan kata-kata ibuku. Tapi, sekarang semua sudah terlambat. Penyesalanku takkan ada artinya. Inilah hidup yang harus kujalani akibat kesalahanku sendiri di masa lalu. Ya, semua ini salahku.

No comments:

Post a Comment