Saturday, June 30, 2012

Akhir yang Tak Terduga

Picture taken from www.brunswick.k12.me.us through www.google.com


Oleh: Nina Razan

Hari ini usiaku genap 17 tahun. Namun, aku belum mempunyai “gereget” sebagai remaja berusia 17 tahun. Entahlah, aku sendiri tak tahu apa penyebabnya, yang jelas aku tetaplah aku. Aku adalah seorang siswi SMA yang belum mengerti banyak tentang kehidupan, bahkan aku rasa aku belum bisa mandiri layaknya remaja seusiaku.

Well, entah mengapa hari ini aku merasa janggal. Tadi tepat pukul 00.00, aku mendapat sebuah pesan singkat dari seseorang yang notabenenya adalah mantan gebetanku. Awalnya, aku kira isi pesan itu adalah ucapan selamat ulang tahun untukku, sehingga aku biarkan saja hingga esok hari. Namun, aku baru sadar jika aku salah setelah membacanya.
Sebuah pesan singkat bernada lembut bertuliskan, ”Night girl, sleep tight and have a very sweet dream!” sontak membuatku kaget. Sebuah pesan yang tak pernah ku duga datangnya, tiba-tiba saja tertulis di ponselku dengan alamat nomor yang bisa dibilang ku “keramatkan”. Sebab, sejak aku mengetahui nomor itu, aku hanya menyimpannya dan sama sekali belum pernah kugunakan sebagai alamat nomor penerima pesan dari ponselku.
Aku baca pesan itu berulang kali lalu kusimpan sebagai saved message. Sempat terbesit sebuah keinginan di hatiku untuk membalas pesan itu, tapi aku tak kuasa. Pikiranku berpacu mengalahkan keinginan itu, lebih baik aku biarkan. Aku terdiam. Lalu aku beranjak dari tempat tidurku dan bergegas mandi.
***
Suasana di sekolah hari ini masih seperti biasanya, selalu membuatku ingin lekas pergi ke kantin. Ketika aku sedang berjalan menuju kantin, kudapati ponselku bergetar. Rupanya, sebuah pesan singkat masuk dari nomor keramat yang berbunyi, “Morning girl, I’m sorry I couldn’t give any surprise to you last night. Happy birthday! God bless you”.
Kulihat sekelilingku, berharap sang empunya nomor berada di dekatku. Namun ternyata, dia tidak sedang berada di sekitar sini. Aku pun meneruskan perjalananku ke kantin.
Setibanya di kantin, kulihat sebuah pamflet yang tertempel rapi di mading dekat kantin bertuliskan namaku lengkap dengan fotoku bersama teman-teman. Seingatku, foto itu diambil sekitar setahun yang lalu tepat saat aku tergila-gila pada Alvin, teman sekelasku yang sangat cuek.
Alvin adalah satu-satunya orang yang menurutku sangat aneh. Dia tak pernah menyebut namaku karena dia tak tahu dan tak pernah mau tahu tentang itu. Bahkan, sampai saat ini, dia belum pernah tersenyum barang simpul sekalipun padaku.
Dalam foto itu, terlukis wajahku yang sedang tertawa dengan teman-temanku. Tanpa aku sadari, di bagian kanan bawah foto tersebut terdapat tanda tangan yang sudah tak asing bagiku, tanda tangan Alvin.
Sungguh, aku benar-benar tak mengerti maksud dari semua ini. Untuk apa Alvin melakukan hal ini? Apakah untuk membuatku GR lalu mempermalukanku? Ah, rasanya sulit dipercaya kalau Alvin melakukan hal konyol itu. Dia terlalu sibuk, atau bisa dibilang ‘tak level’ untuk melakukan hal yang kurang kerjaan dan sebodoh itu. Lantas, siapa yang melakukannya?
Aku masih memperhatikan foto itu sambil menerka-nerka siapa yang menempel dan untuk apa foto itu ditempel di tempat seperti ini.
“Callista,” seseorang di belakangku menyebut namaku. Aku kaget dan segera membalikkan badan mengikuti arah datangnya suara tersebut. Seseorang berbadan tegap tersenyum padaku, sungguh aku belum pernah melihat senyuman seperti itu.
Are you okay?” suara itu membuat badanku lemas seketika.
“I-I-I’m fine,” bibirku bergetar hingga kata-kata yang ingin kuucap tak mampu keluar secara sempurna. Aku benar-benar tak berdaya dan segera memalingkan pandanganku yang sudah tidak kuat menatap binar matanya. Aku tahu dia akan berucap lagi padaku, tapi aku berlari meninggalkannya hingga dia memangil namaku berulang kali. Aku tak peduli, aku terus berlari hingga aku terjatuh.
“Callista lo nggak papa kan?” terdengar suara yang sepertinya aku kenali.
Aku segera meraih uluran tangan seorang cewek berambut panjang sembari melirik name badge-nya untuk sekadar memastikan. “Thanks,” ujarku.
“Ngapain aja lo sampai jatuh segala?” tanya Hika, sahabat yang selalu ada disaat aku butuh, termasuk tadi ketika aku terjatuh.
“Nggak apa-apa kok,” balasku dengan senyum terpaksa.
***
Setibanya di rumah, aku membongkar seisi gudang kamarku untuk mencari buku Fisika kelas satu. Dua jam berlalu, tapi aku belum juga menemukan buku itu. Tanpa sengaja, aku menemukan sebuah album usang. Sebuah album yang merekam kisah masa kecilku yang indah.
Kubuka lembar demi lembar album masa kecilku, sesekali aku tersenyum mengenang masa itu. Tiba-tiba jatuh sebuah kertas, seingatku itu kertas dari diary lamaku. Aku merobek lembar tersebut karena aku ingin melupakan Alvin.
Entah apa yang ada di pikiranku ketika ku pandang matanya. Sepertinya ada yang aneh, hatiku tak bisa memungkiri bahwa aku merasa dia sedang melihatku, lebih tepatnya memperhatikanku. Hal ini bukan yang pertama kalinya, karena sebelumnya saat aku bercerita pada teman-temanku bahwa aku baru saja menemukan sepucuk surat dari mantanku di atas mejaku, dia satu-satunya orang yang mengunjungi mejaku untuk melihatnya. Itu pun saat kelas kosong oleh siswa dan aku tak sengaja melihatnya sedang melakukan hal tersebut. Ah, sudahlah! Untuk apa aku berpikiran seperti ini? Toh sudah jelas bahwa dia orang yang cuek, bahkan lebih cuek dari bebek.
Aku tersipu membaca potongan diary itu. Lucu pikirku, ada-ada saja yang kutulis saat itu! Karena terhanyut dalam buai kenangan masa lalu, aku membuka halaman sebaliknya.
Ah, kenapa? Kenapa ini terjadi lagi? Aku melihatnya sedang melihatku! LAGI! Cukup, ini sudah cukup untukku!
Yah, potongan diary itu membuatku teringat pada Alvin dan segala yang terjadi tentangnya akhir-akhir ini.
***
Pagi yang cerah, aku berangkat ke sekolah dengan perasaan bahagia karena ada yang berbeda dariku hari ini. Yup, semua baru! Senang sekali rasanya, tas baru ini pemberian mamaku sebagai kado ulang tahunku. Sedangkan sepatu baru ini, pemberian tanteku dan jam tangan baru ini dari papaku.
Tinggal beberapa meter lagi untuk sampai di kelasku, tapi seseorang menghentikan langkahku.
“Callista, Can I talk with you?”
Aku terdiam sejenak berharap suara itu bukan suara Kepala Sekolah. Aku memutar badanku, ku lihat name badge-nya kemudian berujar, “Okay”.
Come on. Follow me,” kata orang yang tak lain adalah Alvin.
Langkah yang kuikuti terhenti di depan mading dekat kantin. Alvin melihat mading sembari tersenyum kemudian berkata, “Have you ever seen it before?”
Yes. Why?” jawabku mulai tegang. Aku takut jika teman-temanku melihatku berduaan dengan Alvin.
Well, I’ll tell you something. I made it just for make you sure that I-,” aku yakin Alvin belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Samantha memanggilku dan aku harus segera pergi.
“Ngapain lo berduaan sama dia?” tanya Samantha.
“Ah, siapa yang berduaan? Gue lagi ngeliatin mading aja, nggak tahu kalau ada doi,” tangkisku.
“Serius lo?” kali ini Samantha menyolek tanganku dan menaik-turunkan alisnya.
“Apaan sih lo?” aku masih mencoba berkilah, tetapi dalam hatiku aku tak bisa memungkiri bahwa aku merasa senang dapat bersama Alvin meski hanya sebentar.
Di sepanjang perjalanan menuju ruang kelas, masih terbayang senyum Alvin yang sebenarnya jarang sekali aku lihat. Dia tersenyum, menatapku, dan kurasa bibirnya bergetar saat dia berbicara. Jantungku berdebar lagi, padahal tidak ada lelaki yang sedang berjalan bersamaku. Mungkin karena Alvin, yang entah mengapa membuatku merasa GR. Ah, sudahlah!
***
HP-ku bergetar, ternyata ada sebuah pesan singkat masuk di HP-ku. Larut malam seperti ini masih ada juga orang yang hidup. Hm, tunggu sebentar, apakah aku sedang bermimpi? Pasalnya, pesan ini dikirim oleh Alvin. Mengapa harus dia lagi? Bukankah esok hari kita harus pergi ke sekolah? Mengapa dia mengirim pesanku tengah malam seperti ini?
Kubuka pesan itu dengan jantung yang berdegup kencang, berharap tak ada hal janggal dalam pesan singkatnya. Namun, semua berubah ketika aku membaca dan meresapi apa yang Alvin sampaikan pada pesannya kali ini.
Hi, Callista! I hope I don’t disturbing your sweet dream tonight. I can’t sleep well ‘cause I’m still remembering my twin sister. Perhaps you’ll know what I mean on everything I did to you. I just wanna be a good brother for you. Have sweet dream, my lovely twin sister! J
Sungguh, seharusnya aku tahu akan hal ini. Aku tahu aku memiliki saudara kembar, tapi orang tuaku tidak memberi tahuku siapa namanya. Kini ketika aku tahu, ternyata dia Alvin! Orang yang selama ini aku kira mencintaiku sebagai lawan jenis, ternyata dia saudara kandungku. Astaga, jadi selama ini aku salah mengartikan setiap perhatian yang dia berikan padaku? Oh, bodohnya diriku! Mengapa hal ini tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya?
Aku beranjak dari ranjangku yang nyaman dan bergegas menuruni anak tangga menuju ruang makan. Biasanya, tengah malam seperti ini orangtuaku sedang menikmati malam karena mereka baru saja pulang dari kantor. Aku harus bertanya pada mereka. Ya, aku harus tahu semua malam ini juga!
“Ma,” panggilku.
Mama langsung menoleh dan menjawab, “Ya, sayang? Ada apa? Tengah malam begini kok belum tidur?”
“Ma, coba mama baca ini,” ujarku seraya menyodorkan HP-ku.
Ku lihat mama menyerngitkan dahinya ketika membaca isi pesan singkat itu. Tak lama kemudian, ia pun berkata, “Sebentar ya, sayang. Mama ke kamar dulu”.
Aku tak mampu mengelak. Aku hanya bisa diam sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di kelopak mataku. Badanku terasa lemas hingga akhirnya aku melangkahkan kaki yang menuntunku pada sebuah sofa. Kuusap air mata yang mulai membasahi pipiku.
“Callista,” ku dengar suara papa memanggilku. Aku berdiri dan melangkah kaki menuju tempat papa dan mama berdiri. “Sekarang kamu sudah besar. Kamu harus tahu yang sebenarnya. Maafkan papa-mama,” tutur papa membuat mataku kembali meneteskan air mata.
Aku hanya bisa diam. “Maafkan papa dan mama yang belum memberitahumu tentang hal ini, sayang,” ujar mama lirih seraya memelukku. Aku hanya mampu menangis dalam pelukan mama. Tanganku serasa tak bisa bergerak, meski aku ingin membalas pelukan mama. “Kamu mau maafin papa mama kan, sayang?”
Aku pun mengangguk. Papa mengelus rambutku sambil tersenyum dan berkata, “Papa janji besok papa antar kamu ke orang tua kandungmu. Tapi kamu harus janji, jangan pernah lupakan papa dan mama. Gimana? Setuju?”
Aku kembali mengangguk. Kali ini, kubalas pelukan mama erat-erat. Aku sangat senang mendengar janji papa hingga aku terisak di pelukan mama.
Ya, kini aku paham, segala yang ditutup-tutupi pasti akan terbuka juga. Entah kapan waktunya. Mungkin, juga termasuk perasaanku pada Alvin setahun yang lalu. Cepat atau lambat, Alvin pasti tahu. Pasti.
*****

No comments:

Post a Comment