Friday, November 29, 2013

Dare to be Different: Lulusan SMA Jurusan IPA Kuliah di Jurusan Noneksakta? Kenapa Tidak?

Picture taken from www.yourspj.com through www.google.com

Sebelum mulai ngoceh, aku mau jelasin kenapa aku pilih judul di atas buat jadi postinganku kali ini. Sejak aku masih duduk di bangku SMA sampai sekarang, aku sering mendengar orang-orang berkata, “Ngapain ambil (jurusan) IPA waktu SMA kalau ternyata kuliah di Jurusan IPS?”. Bahkan, aku sendiri pernah berada di posisi tersebut. Waktu lulus SMP, sebenarnya aku ingin mengambil Jurusan IPS waktu SMA. Kenapa? Karena aku membayangkan, ketika dewasa kelak, aku akan bekerja di dunia noneksata. Aku benar-benar tidak memiliki bayangan untuk bekerja di dunia eksakta, kecuali keinginan untuk menjadi dokter ketika menginjak bangku SMA.
Waktu SMA, aku ikut tes seleksi masuk kelas akselerasi mengikuti keinginan mama. Awalnya, aku pikir, tidak ada salahnya untuk mencoba walaupun gagal. Namun, Tuhan menghendakiku untuk menghabiskan masa SMA-ku di kelas akselerasi. Ya, aku lolos. Saat aku mengetahui hal tersebut, awalnya aku merasa biasa saja, tapi ketika melihat kedua orang tuaku bahagia, aku pun jadi bahagia.

Awal resmi menjadi siswa kelas akselerasi adalah cobaan yang berat bagiku saat itu. Teman-teman SD-ku menganggap itu merupakan hal yang biasa karena saat lulus SD, aku mendapat peringkat 2. Namun, beberapa teman SMP-ku tidak percaya karena saat lulus SMP, aku hanya mendapat peringkat sepuluh besar (lupa berapa tepatnya karena jelek dan sama sekali tidak membanggakan haha). Ada pula teman-teman, bahkan orang tua teman-temanku, yang berkata di hadapanku, “Buat apa masuk kelas aksel (akselerasi)? Masa SMA itu masanya bergaul, bukan jadi kutu buku”, “Ngapain masuk kelas aksel? Mau jadi anak cupu? Paling temennya cuma anak kelasnya doang” dan masih banyak cercaan lainnya. Dulu, aku sempat menangis mendengar hal itu, tapi lama-lama aku jadi kebal hehe.

Sungguh, seberat-beratnya cobaan adalah cobaan ketika aku lulus SMA. Bukan karena nilaiku jelek, tapi karena aku tidak lolos seleksi SNMPTN Undangan dan Tertulis. Aku tidak bisa berkata apa-apa mengetahui kegagalanku tersebut. Untungnya, saat itu aku sudah diterima sebagai satu-satunya penerima beasiswa penuh dari SMA-ku di sebuah universitas swasta di Jakarta. Jurusan yang aku ambil di universitas swasta tersebut pun bukan jurusan eksakta, melainkan Ilmu Komunikasi. Saat tes, aku juga tidak memilih jurusan lain selain jurusan tersebut. Hal itu pun sempat mengejutkan papaku dan sepertinya membuat beliau kecewa karena beliau sangat berharap aku memilih jurusan teknik.

Tidak sedikit orang yang mulai mencercaku LAGI. Ada yang berkata, “Ah, anak yang SMA-nya nggak (masuk kelas) aksel aja banyak yang diterima di Kedokteran”. Ada pula yang berkata, “Ih, mungkin dia dulu masuk (kelas) akselnya nyogok”. Ada juga yang berkata, “Tuh kan, (masuk kelas) aksel nggak menjamin orang jadi sukses”, “Alah, ngapain masuk aksel kalau ujung-ujungnya kuliah di universitas swasta?”, dan masih banyak lagi cercaan yang aku terima LANGSUNG dari orang-orang. Lagi-lagi, aku menangis. Tidak, aku tidak menangisi kegagalanku dalam SNMPTN, melainkan cercaan orang-orang yang terus menerus menghampiriku.

Sebenarnya, saat itu ada orang, yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya, menawarkan “bantuan” untuk membuatku bisa berkuliah di jurusan yang aku inginkan, tapi aku tidak mau. Aku tidak mau uang halal yang susah payah dikumpulkan orang tuaku dari waktu ke waktu seketika habis begitu saja dan berubah menjadi uang haram yang hanya memberi kepuasan sesaat. Aku sadar, kegagalan itu adalah kesalahanku sehingga aku sendiri yang harus mempertanggungjawabkannya. Orang tuaku tidak bersalah sama sekali atas kegagalan itu sehingga mereka tidak pantas untuk mengubah hasilnya.

Lagipula, jika aku memilih jalan salah tersebut, mungkin hanya aku yang akan tersenyum, mungkin aku tidak akan melihat mamaku tersenyum senang saat mengetahui aku lolos dengan usahaku sendiri. Jika aku memilih jalan salah tersebut, mungkin orang tuaku akan menyesal telah memberiku contoh buruk tentang penyalahgunaan uang dan mungkin suatu saat aku akan benar-benar menyesali hal itu. Ya, aku juga tidak ingin masuk ke universitas dengan jalur haram yang mungkin suatu saat akan menjadi karma untukku sendiri. Siapa tahu jika aku masuk ke jurusan yang aku inginkan dengan jalur haram, aku akan mendapat DO karena tidak mampu menyelesaikan tugas akhir hingga batas waktu yang ditentukan atau bahkan menjadi dokter yang sering melakukan malpraktek? Bukankah hal tersebut justru akan merugikan banyak orang?

Sampai akhirnya, tiba saatnya Ujian Mandiri universitasku saat ini. Aku masih memperjuangkan jurusan yang aku pilih saat SNMPTN. Bedanya, kali ini aku menambahkan Jurusan Sastra Inggris. Jurusan yang saat sekolah aku bayangkan sebagai jurusan yang tampak menyenangkan. Jurusan yang tampak fleksibel dibanding jurusan-jurusan lain. Akhirnya, aku lolos sebagai mahasiswa Jurusan Sastra Inggris dan aku memilih untuk melepas kuliahku di Jakarta.

Kedua orang tuaku berulang kali memintaku untuk memikirkan ulang pilihan tersebut. Alasannya simple, apakah aku yakin akan mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada sudah pasti menjadi jurnalis di sebuah TV swasta yang ditawarkan universitasku di Jakarta? Apakah aku yakin aku akan lebih berhasil jika aku kuliah di Semarang? Namun, aku memilih Sastra Inggris dengan mantap, lebih mantap daripada saat aku memilih Ilmu Komunikasi di Jakarta. Lucunya, saat itu aku baru berpikir, kenapa aku tidak memilih Jurusan Ilmu Komunikasi di Semarang? Haha

Awal aku kuliah di Jurusan Sastra Inggris, masih banyak orang yang mencercaku dengan kalimat-kalimatnya, seperti “Ngapain kuliah Sastra Inggris kalau ada kursus Bahasa Inggris?”, "Sastra Inggris? Kalau lulus nanti, mau kerja jadi apa?”, "Oh, pengen jadi guru Bahasa Inggris ya?", “Jadi, otaknya alumni aksel cuma tembus di Jurusan Sastra Inggris? Di Semarang pula, kalau di Jakarta sih nggak apa-apa”. Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut awalnya aku hadapi dengan tangis, lagi. Namun, seperti yang sudah berlalu, lama-lama aku sudah kebal dengan pertanyaan seperti itu. By the way, untuk yang pertanyaan yang terakhir, aku sering protes. Mereka tidak tahu kalau aku pernah diterima di Jurusan Management di sebuah universitas di Jepang dan lain-lain, tapi banyak pertimbangan dari diriku sendiri yang memutuskan untuk batal berkuliah disana hehe.

Yak, kembali lagi. Semua cercaan itu benar-benar tidak membuatku PD pada awal-awal masa kuliahku. Aku tidak menuliskan jurusanku di “About” akun Facebook-ku (bahkan sampai sekarang), aku tidak mau berlama-lama memakai celana olahragaku karena disitu tertulis jurusanku, aku tak segan berkata bahwa aku tidak bangga dengan apa yang telah aku dapatkan, dan bahkan aku sempat ingin mencoba ujian SNMPTN Tertulis pada tahun berikutnya. Namun, masa-masa tersebut sudah aku lewati. Sekarang aku sudah tidak malu untuk mengakui bahwa aku memang benar-benar mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, jurusan noneksata. Aku juga tidak malu untuk mengakui bahwa aku memang pernah gagal.

Jika beberapa orang menilai aku salah jurusan, tapi aku tidak merasakan hal itu. Kenapa? Karena aku sendiri yang memilih jurusan ini, bukan orang lain. Sekarang, aku menikmati jurusan yang sedang aku tempuh. Aku yakin jurusan ini dapat membuatku sukses dengan standard-ku sendiri. Hal yang terpenting adalah dari perjalanan menyakitkan yang telah aku tempuh akhirnya dapat membuat pikiranku lebih terbuka dan dewasa.

Jangan menilai orang dari jurusan dan universitas yang ia dapatkan. Jurusan sama sekali tidak menentukan pekerjaan apa yang nantinya akan kita dapatkan, melainkan memberi gambaran kasar akan menjadi apa kita nanti. Tentu, gambaran tersebut belum tentu terwujud karena ada kemungkinan Tuhan menakdirkan kita untuk belajar dan berproses di jurusan kita untuk bertemu dengan seseorang atau mendapat ilmu yang justru bertolak belakang dengan pekerjaan kita nanti atau mendapat pengalaman dan pelajaran hidup yang dapat mendewasakan kita.

Jurusan dan universitas juga tidak menggambarkan kemampuan seseorang. Mungkin seseorang memilih jurusan noneksakta walau ia pintar dan mampu berkuliah di jurusan eksakta tapi ia tidak menghendaki hal itu. Mungkin juga seseorang tidak mendaftar di universitas yang lebih baik walaupun ia pintar karena merasa tidak mampu untuk membayar biaya berkuliah disana. Terakhir, jangan merasa sudah sukses karena diterima di pilihan pertama SNMPTN Undangan. Kuliah bukan tujuan hidup yang sebenarnya, jadi jangan cepat berpuas diri dulu hehe.

Oke, itu tadi celotehan tentang jurusan yang sering diributkan orang-orang di sekitarku. Semoga bermanfaat dan membuka pikiran kita agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Amin.

6 comments:

  1. kisah hidupnya hampir sm denganku..
    HIDUP AKSEL!!!

    ReplyDelete
  2. Memang banyak orang yang misconception ttg aksel..
    Orang cerdas itu kan beda sama orang pintar, ya kan? Susah bgt ngasih tau ke orang orang yg anti aksel :'( sedih yaa
    Btw, hidup Aksel juga!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, begitulah kenyataannya.
      Tiap orang sukses di bidangnya masing-masing dan kesuksesan nggak bisa diraih tanpa rintangan.
      Sedih kalau ada orang mengolok orang lain yg sedang mengalami rintangan menuju kesuksesan, kenapa nggak disemangatin dan dibantu ya :(
      Yuhuu hidup aksel! :D

      Delete
    2. Semangat!
      Btw sma nya mana? Aksel angkatan berapa?

      Delete
    3. SMA 1 Semarang aksel angkatan IV (2009) :)

      Delete