Sunday, June 22, 2014

Liputan di TPA Jatibarang, Semarang



Kemarin adalah pertama kalinya aku liputan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kebayang dong, kalau buang sampah ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) aja baunya udah bikin pengen muntah. Apalagi di TPA... Hmm... baunya… luar biasa! Luar biasa busuk hehe.


Karena kali ini aku dan seorang Reporter Fotografi LPM Manunggal Undip (namanya Agung) cuma liputan buat rubrik Lensa di Majalah, semacam rubrik yang memuat foto berkisah dengan tema human interest, jadi kami lebih banyak mengamati aktivitas “pekerja” di TPA dan mengabadikannya dalam gambar.

Lokasi TPA Jatibarang ini berada di daerah Manyaran. Kalau dari Tembalang, waktu perjalanannya sekitar 50 menit menggunakan sepeda motor. Dengan catatan, hapal jalan dan tidak macet hehe. Sebelum kami sampai di TPA, kami bisa melihat pondok-pondok warga yang mungkin berprofesi sebagai pengepul barang bekas di sepanjang jalan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya tumpukan barang bekas di sekitar pondok-pondok itu. Sedangkan di dekatnya, ada kandang sapi. Baru sampai di sini saja, aroma khas sudah mulai tercium. Pertanda kalau kami tidak salah jalan dan akan segera tiba di lokasi.

Setibanya di TPA, kami berjalan-jalan di zona 1 dan disambut sekumpulan sapi-sapi yang bebas berkeliaran di TPA. Awalnya, kami hanya melihat sekitar lima atau enam sapi. Lalu, setelah kami berjalan kaki menyusuri jalan… OMG, sapi-sapi itu jumlah sudah tidak bisa dihitung lagi! Baaaaanyaaaaaaaaaaaaak baaaaaaaaaaangeeeeeet! Bahkan, si Agung bilang, jumlah orang di sana sama dengan jumlah sapi yang berkeliaran itu haha.


Sapi-sapi yang berkeliaran di atas gunungan sampah

Jalanan zona 1 yang menurun, membuat kami dapat melihat sampah yang menggunung dari dekat gerbang masuk. Kami dapat melihat kerumunan sapi yang membaur dengan orang-orang yang mencari barang-barang bekas di dekat alat berat dan truk pengangkut sampah. Awalnya, aku sempat turun ke tengah-tengah kerumunan itu, tapi keadaan di sana sangat becek dan sesak. Salah seorang pekerja yang melihatku hanya memakai flat shoes, bahkan menghampiriku dan menawarkan sewa boots padanya. But sorry to say, aku memutuskan untuk mengambil gambar di tempat lain yang tidak becek dan membiarkan Agung menyusuri kerumunan itu.

Kerumunan orang yang berbaur dengan sapi di dekat alat berat (1)
Kerumunan orang yang berbaur dengan sapi di dekat alat berat (2)

Aku pun menyusuri jalan yang dilalui truk-truk sampah. Rupanya, setelah memasuki gerbang, truk-truk tersebut harus melalui timbangan sebelum “membongkar isinya” di kerumunan yang tadi aku jelaskan. Para pekerja tampak tidak mempermasalahkan keadaan TPA yang seperti itu. Mereka asyik naik-turun truk dengan lincahnya dan melakukan aktivitasnya sambil sesekali bercanda.

Beberapa dari mereka memperingatkanku untuk berhati-hati karena sapi-sapi di sana sering berlarian. Ada juga yang menyuruhku memakai masker karena jalanan yang tidak becek itu sangat berdebu dan juga berbau busuk. Sebenarnya, aku sangat ingin memakai masker yang memang sudah aku bawa, tapi setelah dipikir-pikir, aku takut menyinggung perasaan orang-orang di sini. Maka, aku memilih untuk tidak memakai masker dan menyimpannya dalam tas.

Benar saja, debu langsung berhamburan ke udara tiap kali truk-truk sampah melewati jalanan ini. Dan dari jalanan ini juga, aku melihat sapi-sapi berlarian di gunungan sampah yang ada di atas. Jika sapi-sapi itu melewati pondok warga, warga akan segera mengusir sapi-sapi itu agar pondok tidak rusak. Bagaimana tidak, pondok itu rata-rata hanya terbuat dari terpal dan beberapa potong kayu untuk menopangnya. Selain itu, terkadang sapi-sapi itu juga mendekati truk-truk sampah yang baru saja tiba di tengah kerumunan.


Jalanan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah

Truk sampah yang baru saja tiba di zona 1, melaju menuju kerumunan



Aku terus menyusuri jalanan hingga menemui pondok-pondok warga yang letaknya tak jauh dari kerumunan tadi, tepatnya di gunungan sampah. Daerah sekitar pondok-pondok ini tidak sebecek tempat di kerumunan, tapi juga tidak kering berdebu seperti jalanan yang dilalui truk. Pondok-pondok ini digunakan sebagai tempat menimbang barang bekas yang dikumpulkan para kerja. Aku kurang tahu ada berapa pondok yang ada di sana karena dari kejauhan aku masih bisa melihat banyak pondok-pondok yang lain.



Pondok-pondok yang berdiri di tengah gunungan sampah (1)

Pondok-pondok yang berdiri di tengah gunungan sampah (2)

Saat aku berjalan di depan salah satu pondok, aku melihat seorang anak-anak laki-laki yang mungkin berusia 9 atau 10 tahun sedang berjongkok di depan sebuah kaleng bekas. Aku sempat mengambil fotonya, tapi rupanya bapak sang anak berkata pada Agung untuk memintaku menghapus foto tersebut. Kata Agung, bapak itu berkata padanya dalam Bahasa Jawa, “Mas, kuwi mbake kon hapus fotone ya! Wong kuwi aku lagi nemu iwak terus tak godog og. Aku isin to mas nek difoto”.

It shocks me! Aku bahkan tidak melihat sang bapak ketika mengambil foto itu (setelah aku lihat foto itu, ternyata bapak itu tertutupi badan sang anak). Aku juga tidak tahu jika mereka sedang “memasak”. Ditambah, aku tidak bisa membayangkan mereka akan benar-benar memakan ikan temuan mereka itu. Seketika, hatiku kacau. Lebih kacau dari patah hati karena cinta. Pertama, aku merasa bersalah karena telah mengambil gambar mereka tanpa izin. Kedua, rasa kemanusiaan tiba-tiba berkecamuk di dalam dada. Kenapa aku tidak bisa mencegah mereka memakan makanan tersebut dan menggantinya dengan makanan layak?

Untuk yang pertama, solusinya simple, aku telah menghapus foto itu. Yang kedua? Meminta maaf untuk hal pertama saja tidak bisa aku lakukan karena bapak dan anak itu sudah pergi dari tempat tadi. Selain itu, kami juga lupa dengan wajah mereka hehe. Untuk masalah yang kedua, masih belum terselesaikan. Jika suatu saat aku ke sana lagi dan membawa makanan, tentu aku tidak boleh egois hanya membawa dua makanan untuk bapak dan anak itu. Aku harus membawa makanan untuk seluruh orang yang ada di sana, untuk yang mengingatkanku tentang kelakuan sapi, untuk yang mengajakku berbicara dengan Bahasa Jawa tapi aku tidak paham hehe, untuk yang menyuruhku menggunakan masker, untuk yang menawarkan sewa boots, untuk yang memintaku untuk memfoto mereka, dan masih banyak lagi.

Ternyata, setelah “terjun” di kerumunan, Agung sempat menyambangi pondok-pondok warga yang letaknya hanya beberapa meter dari kerumunan. Katanya, pondok-pondok itu ada yang digunakan sebagai tempat beristirahat sejenak untuk melepas penat setelah mencari barang-barang bekas. Bahkan, dia melihat beberapa keluarga sedang duduk-duduk di sana.

Setelah kurang lebih satu jam berada di TPA Jatibarang, aku benar-benar sudah tidak kuat menahan bau yang benar-benar menusuk hidung. Perutku mulai mual dan aku mengajak Agung untuk segera pulang.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari liputan kali ini. Intinya, liputan kali ini mengingatkan aku untuk selalu bersyukur dengan segala sesuatu yang telah aku dapatkan. Yang lebih penting lagi, kelak jika aku bekerja, aku harus mencintai dan menghargai pekerjaanku, apapun risikonya, selama pekerjaan itu dibenarkan agama dan tidak merugikan atau bahkan menyakiti orang lain, kenapa harus malu untuk mengakuinya?


Picture taken from thedailyquotes.com through www.google.com

3 comments:

  1. waw... aku gak nyangka kamu nulis blog tentang perjalanan kita kesana mbak... danbaru aku buka juga.... waaaaah keren... itu juga foto" ku juga hu.m mbak?/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biar bisa diinget terus gung, jadi harus ditulis hehe
      Bukan gung, itu foto-foto dari kamera ponselku kok.
      Foto-fotomu biar jadi arsipmu dan Manunggal aja.
      Kapan hunting foto unik lagi? Haha

      Delete
  2. kalau boleh tau ancer" dari tembalang mau ke pemukiman Marga tpa jatibarang apa ya?

    ReplyDelete